Jangan Lupa FOLLOW Blog ini Ya.....

Filsafat Sejarah dan Aksiologinya terhadap Pendidikan

Di Tulis Oleh Muhammad Nurdin Al-aziz M.Ag ( Saeutik Deui)


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Filsafat sejarah, sebagaimana filsafat umumnya, mengkaji masalah-masalah kebenaran, kebaikan dan keindahan. Hanya saja khusus aspek keindahan (bidang estetika), ia kelihatan tidak pernah memainkan peranan penting dalam historisitas filsafat sejarah. Sebaliknya, rnengenai kebaikan (bidang etika) dan kebenaran, justru memainkan peranan yang lebih menonjol dan penting daripada keindahan.

Masalah kebaikan (bidang etika), merupakan aspek yang menjadi tolok ukur dalam melihat realitas kesejarahan. Mungkin, oleh karena itu ia menjadi perhatian penting pula dalam kajian filsafat sejarah. Misalnya, persoalan-persoalan yang diajukan: Apa yang dapat disumbangkan oleh pengkajian sejarah agar dunia ini menjadi lebih baik dan adil? Sejauh mana norma dan nilai-nilai dapat mempengaruhi gambaran sejarawan mengenai masa silam?

Adapun mengenai kebenaran, ia sesungguhnya merupakan permasalahan utama yang digumuli filsafat sejarah. Permasalahan yang diajukannnya seperti: Sejauh mana sejarawan dapat memperoleh pengetahuan yang benar mengenai masa silam? Bagaimana sifat pengetahuan itu? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut terungkap dalam bagian makalah ini.

Bila dicermati, pertanyaan yang diajukan di atas, sesungguhnya meliputi dan “berekor” pada sejumlah permasalahan baru pula. Pertama, misalnya diperlukan adanya pengertian yang jelas mengenai sifat-sifat hakiki dalam dan dari kenyataan historis. Hal yang disebutkan terakhir ini merupakan bidang kajian filsafat sejarah spekulatif (Speculative Philosophy of History). Kedua, apakah pengetahuan mengenai masa lalu yang dapat diandalkan itu dapat diusahakan untuk memperolehnya? Jawaban atas pertanyaan kedua ini merupakan bidang kajian filsafat sejarah kritis, yaitu bidang teori pengetahuan atau epistemologi.

1

1

Pertanyaan mengenai kebenaran dalam pengkajian sejarah, dengan sejumlah sarana yang digunakan, tentu membawa kepada masalah tentang benar tidaknya para ahli sejarah (sejarawan) dalam memahami masa silam yang digelutinya. Pemecahan terhadap permasalahan ini merupakan bidang kajian filsafat sejarah kritis (Critical Philosophy of History).

Dalam sejarah perkembangannya, filsafat sejarah di Barat mengalami perkembangan yang menakjubkan. Perkembangan itu ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir besar di bidang ini Antara lain, ST. Augustinus (1354-1430), terkenal dengan Paham Sejarah Teologis; August Comte (1798-1854), dengan Filsafat Positivisme Hukum Tiga Tahapnya; Herbert Spencer (1820-1903), dengan teori Evolusi di samping yang dikembangkan Darwin; Oswald Spengler (1880-1936), terkenal dengan teori Daur Kultur Sejarahnya. Yaitu masa timbul, tumbuh, mekar, menua dan hancur; G. W F. Hegel(1770-183 1), terkenal dengan Filsafat Sejarah Spekulatif, Filsafat Sejarah Formal dan Material; Karl Marx (18 18-1883), dengan Materialisme Historisnya; dan Arnold J. Toymbee (1889-197 5) dengan teorinya tentang Tantangan dan jawaban (Challenge and Response) atau yang terkenal dengan Hukum Kebudayaan— dan pada hakikatnya juga disebut Hukum Sejarah.

Hanya saja yang menjadi fokus dalam kajian ini dibatasi pada pemikiran salah seorang di antara mereka, yaitu Karl Marx. Sebab, teori tokoh ini dianggap begitu berpengaruh ke akar rumput hingga kurun waktu sekarang. Selain karl marx di makalah ini juga akan dibahasa filosof sejarah islam yakni Filsafat sejarah Ibn Khaldun.

Filsafat sejarah ternyata sangat berguna bagi siapa saja yang menggeluti pendidikan, ini berguna bagi siapa saja yang akan mendisign kurikulum, proses belajar mengajar, prestasi siswa dan lain-lain. Oleh karena itu di makalah ini sedikit akan membahas aksiologi filsafat sejarh nya supaya sejarah bukan hanya cerita masa lalu saja.

Setelah melihat penjelasan tadi maka dalam makalah ini penulis menganggap penting untuk membahas Belajar Dari Sejarah dengan judul : “FILSAFAT SEJARAH DAN AKSIOLOGINYA BAGI PENDIDIKAN”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, penulis dapat merumuskan masalah-masalah sebagai berikut :

1. Jelaskan ontology filsafat sejarah?

2. Jelaskan epistemology filsafat sejarah?

3. Jelaskan aksiologi filsafat sejarah terhadap pendidikan?

BAB II

PEMBAHASAN

1. FILSAFAT SEJARAH

A. DEFINISI SEJARAH

Sejarah, secara leksikal (menurut kamus bahasa), adalah suatu kejadian atau peistiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Merujuk kepada Al-Quran, Surah Yusuf ayat 111 (Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat ‘ibrah bagi orang-orang yang mempunyai akal), sejarah — yang biasanya memang berisi “kisah-kisah” — menjadi penting untuk umat manusia pada masa sekarang atau yang akan datang. Di dalam sejarah terdapat ‘ibrah (yang oleh Hans Wehr dalam A Dictionary of Modern Written Arabic, diartikan di antaranya sebagai warning, lesson, advice, consideration) atau pelajaran.[1]

Kata sejarah secara etimologi dapat diungkapkan dalam bahasa Arab yaitu Tarikh, sirah atau ilmu tarikh, yang maknanya ketentuan masa atau waktu, sedang ilmu tarikh berarti ilmu yang mengandung atau yang membahas penyebutan peristiwa dan sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut. Dalam bahasa inggris sejarah dapat disebut dengan history yang berarti uraian secara tertib tentang kejadian-kejadian masa lampau (orderly descriphon of past even)[2]

Adapun secara terminologi berarti sejumlah keadaan dan peristiwa yang terjadi di masa lampau dan benar-benar terjadi pada diri individu dan masyarakat sebagaimana benar-benar terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia.[3]Sedangkan pengertian yang lain sejarah juga mencakup perjalanan hidup manusia dalam mengisi perkembangan dunia dari masa ke masa karena sejarah mempunyai arti dan bernilai sehingga manusia dapat membuat sejarah sendiri dan sejarah pun membentuk manusia.[4]

B. DEFINISI FILSAFAT SEJARAH

W.H. Walsh dalam bukunya An Introduction to Philosophy of History, mendefinisikan filsafat sejarah sebagai suatu kajian yang mendalam mengenai sejarah, sehingga dapat diketahui segala yang berkaitan dengan sejarah tersebut.[5]

George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) menyebutkan, filsafat sejarah berpangkal pada abstraksi-abstraksi yang menuju pada kenyataan historis yang konkret. Sementara Jacob Burckhardt (1818-1897), memaknakan filsafat sejarah semacam “makhluk Banci” yang mampu memadukan di antara hal-hal yang tidak dapat dipersatukan.[6] Hal ini dimaksudkan, karena filsafat sejarah berfungsi dan bertugas mematangkan kerja sejarawan serta eksistensi sejarah sendiri. Filsafat sejarah bukan bertugas untuk merekonstruksi masa lalu, tetapi bagaimana rekonstruksi itu sendiri lebih efektif tidak salah menyimpulkan dan lebih mendekati kebenaran sebagai peristiwa yang sebenarnya terjadi (history as actuality).

Dick Hartoko sendiri mendefinisikan filsafat sejarah sebagai suatu yang menyamakan hakikat dan makna sejarah pada umumnya. Masalah pokok yang ditinjau adalah permulaan dan tujuan dari sejarah itu, yang tidak diketahui oleh manusia.[7] Sementara Zainab al-Hudhairi mendefinisikan filsafat sejarah sebagai tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofis, untuk mengetahui faktor-faktor esensial yang mengendalikan perjalanan historis itu, untuk kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap, yang mengarahkan pada perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi.[8]

Rustam E. Tamburaka menyebutkan…… "ilmu sejarah pada adanya waktu dan peristiwa. . . . filsafat sejarah adalah ilmu filsafat yang ingin memberi jawaban atas sebab dan alasan segala peristiwa sejarah. Jelasnya, filsafat sejarah adalah satu bagian filsafat yang ingin menyelidiki sebab-sebab terakhir dari suatu peristiwa, serta ingin memberikan jawaban atas sebab dan alasan-alasan segala peristiwa sejarah.”

C. MUNCULNYA ISTILAH FILSAFAT SEJARAH

Lahirnya filsafat sejarah, menurut peneliti modern, karena kecenderungan manusia yang terkenal sebagai ‘hewan sejarah”. Manusia, sejak zaman kuno tidak henti-hentinya mengamati peristiwa sejarah yang ada dan terjadi di sekitarnya. Mereka juga merenungkan maknanya, mencari suatu hubungan yang bisa menguraikan geraknya dari segi faktor-faktor yang membangkitkannya dan dari akibat-akibat yang dihasilkannya. Sebatas pengalaman yang dimiliki.[9]

Rasa ingin tahu dan kesadaran untuk mencari yang dimiliki manusia, merupakan musabab lahirnya filsafat sejarah. Keingintahuan manusia tentang peristiwa yang telah terjadi, dan tergerak pada bangsa, masyarakat atau individual tertentu, bermuara pada pemahaman dan pengkajian peristiwa itu secara filosofis.

Istilah filsafat sejarah itu sendiri sebenarnya, bukan berarti pengalihan dan penggabungan dua anti secara etimologis, yaitu kata filsafat dan sejarah, tetapi lebih dari itu, sebagai pembahasan satu disiplin. Ia memiiki wawasan pembahasan, metode, paradigma atau perspektifnya tersendiri.

Apabila ditilik dari penggunaan istilahnya, ahli yang mula-mula menggunakan istilah filsafat sejarah adalah Voltaire.[10] Mula-mula Voltaire
menggunakannya dalam kata pengantar karyanya yang berjudul Essay surles moere et’ l’espirit des nations. Kata Pengantar buku itu sendiri berjudul Philosophie de l’historie, yang berarti filsafat sejarah. Buku dengan tersebut merupakan kumpulan artikel yang ditulis Voltaire dalam rentang tahun 1753-1758 M. Sejak saat itu, tepatnya pada saat istilah itu digunakan Voltaire pada tahun 1756 M, istilah filsafat sejarah sudah mulai dikenal secara luas oleh masyarakat.[11]

Voltaire, dengan demikian, terkenal sebagai tokoh yang mula-mula menggunakan istilah filsafat sejarah. Hanya saja dalam penyusunan dan perentangan definisi suatu istilah, dengan ruang lingkup kajian filsafat sejarah secara sistematis dan panjang lebar, istilah itu dipopulerkan oleh Herder.[12] Herder mengungkapkannya dalam karya enam jilidnya yang berjudul Ideen sur Philosophie dergeschichte der menscheit. Herder-lah yang mula-mula merumuskan ranah pembahasan dan permasalahan filsafat sejarah.

Menurut sebagian ahli, istilah filsafar sejarah itu sendiri kadang-kadang cenderung disamakan dengan istilah “teori sejarah”. Akan tetapi diakui, berdasarkan kenyataan, istilah filsafat sejarah lebih populer digunakan di kalangan ahli sejarah, terutama ahli sejarah di negeri Belanda. Adapun di Inggris,Jerman dan Prancis memakai padanan istilah ini dengan “sejarah filsafat”.[13]

D. SEJARAH DALAM A1-QUR’AN

Islam menaruh perhatian yang besar terhadap sejarah. al-Qur’an yang merupakan sumber inspirasi, pedoman hidup dan sumber tata nilai bagi umat Islam. Sekitar dua per tiga dari keseluruhan ayat al-Qur’an yang terdiri atas 6660 ayat lebih itu, memiliki nilai-nilai atau norma sejarah. al-Qur’an berbicara tentang perubahan dalam sejarah, di mana perubahan itu -menurut penegasan Allah- sangat ditentukan oleh kebaikan dan keburukan perbuatan manusia. Hal ini seperti kebiadaban kaum kafir terhadap Nabi Muhammad, yang diabadikan Allah Swt. dalam firmanNya: ”Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah, dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka, dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan” (QS. An-Nahlu: 127).

Di samping itu, al-Quran juga berbicara sebab-sebab khusus terjadinya disintegrasi sosial-bangsa, semisal disintegrasi yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia. Disintegrasi itu, tidak lain, karena tingkah polah dan ulah manusia sendiri, yang sudah terlalu jauh menyimpang dari sendi-sendi kerbenaran hakiki. Dalam ranah ini, Allah Swt. telah berfirman dalam QS. al-An’am: 131: “Yang demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah”. Maksud ayat ini antara lain, Allah tidak akan mengazab penduduk satu desa atau kota meskipun mereka berbuat kekafiran, sebelum diutus rasul yang akan memberi peringatan kepada mereka. Akan tetapi kalau telah diutus seorang rasul kepada mereka, dengan kitab suci yang ditinggalkan sebagai pedoman hidupnya, dan mereka tetap berbuat kezaliman dan kekufuran, maka Allah Swt. akan mengazab mereka di dunia dan di akhirat kelak.

Begitu juga dalam QS. Hud: 117, Allah Swt. menyebutkan, “tidak sekali-kali membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduk negeri itu
adalab orang-orang yang berbuat kebaikan”
. Maksud ayat ini, dengan jelas Allah Swt. menyatakan bahwa pembinasaan dan pendatangan musibah dari-Nya baru ditimpakan, jika satu kampung atau masyarakat suatu negara berbuat durjana atau kezaliman. Karena itu, nyata pula bahwa perhatian Allah Swt. terhadap tingkah polah dan perubahan-perubahan yang terjadi pada manusia begitu besar.[14]

Dari maksud beberapa ayat al-Qur’an yang telah disebutkan di atas, maka dengan jelas, Allah Swt. memberi sinyal adanya hukum kesejarahan (historical law atau sunnah tarikhiyah) yang berlaku di alam dan di dalam masyarakat. Dalam hal ini, seperti terungkap dalam firman-Nya: “Sungguh telah berlalu aturan-aturan (hukum-hukum) Allah sebelum kamu. Maka mengembaralah di muka bumi, dan lihatlah bagaimana akhir orang-orang yang mendustakan. ini adalah penjelasan bagi manusia, petunjuk dan pelajaran bagi orang yang bertaqwa” (QS. 3: 137-138). Pada ayat yang lain, Allah Swt. juga berfirman: “Tiadakah mereka berjalan di muka bumi, dan melihat apa jadinya orang-orang sebelum mereka? (QS. 30: 9).

Sunnah tarikhzyah atau historical law menurut al-Qur’an bersifat tetap (konstan). Hal ini seperti terungkap dalam nash, dua potongan ayat benikut: “(Itulah) hukum Allah yang berlakupula terhadap orang-orang dahulu. Dan tiadalah kamu mendapatkan perubahan dalam hukum Allah (QS. 33: 62). ‘... Maka apakah yang mereka nantikan selain sunnah yang telah berlaku bagi orang-orang terdahulu. Dan tidak sekali-kaui akan kamu dapati pergantian dalam sunnah Allah (QS. Fathir: 43).

Mekanisme atau gerak sejarah dalam pandangan masyarakat Islam, di satu sisi didasarkan pada ketentuan dan kehendak Tuhan secara mutlak. Tuhan Maha pencipta dan Mahakuasa menentukan dan mengatur segala yang sudah, sedang, dan yang akan terjadi di alam, termasuk di antaranya perihal manusia. Namun, di sisi lain, manusia sebagai hamba Tuhan, memiliki peranan dalam mewujudkan perubahan nasib diri dan masyarakatnya. Tuhan telah memberikan kebebesan dan kemerdekaan bagi manusia untuk mengembangkan potensi dasar yang dimilikinya. Lihatlah apa yang difirmankan-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan satu kaum. sebelum kaum itu sendiri berusaha keras untuk merubah din mereka sendiri” (QS.al-Ra’du: 11).

Peran manusia dalam perubahan kehidupan diri dan masyarakatnya, sesuai dengan maksud firman Allah Swt. di atas sangatlah besar. Hanya saja peran dan kebebasan itu tidak terlepas dari perannya sebagai tindakan hamba. Artinya, bahwa apa yang dilakukan manusia tetap tidak bisa terlepas dari kontrol Allah selaku Khaliqnya. Oleh karena itu, menurut pandangan Islam, sepatutnyalah manusia tidak menyalahi syari’at-Nya. Dalarn perspektif Islam, hal demikianlah yang menentukan keimanan dan konsistensi keislaman seseorang.

Lebih dari itu, manusia dalam pandangan Islam merupakan khalifah Allah Swt. di bumi, yang bertugas untuk mengamankan, mendamaikan dan menciptakan kelestarian alam. Sesuai dengan firman-Nya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetaghui apa yang tidak kamu ketahu’.” (QS.al-Baqarah: 30).

Pengungkapan selintas tentang ayat-ayat di atas, kiranya dapat dijadikan landasan filsafat sejarah dalam Islam. Sebab, pengungkapan ini dianggap perlu karena menunjukkan landasan dan sekaligus lingkup kajian disiplin ilmu ini dalam Islam. Dengan demikian, dapat pula dikatakan, bahwa konsepsi teori filsafat ketuhanan dalam Islam itu dengan teori filsafat ketuhanan yang dipahami di Barat, terutama dalarn hal gerak sejarah. Dunia Barat berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk biologis bersendikan kepada hukum alam, semacam rantai sikius hidup yang selalu dan terus menerus berputar; bahwa manusia tidak lebih dan “hewan intelek” yang memiliki kelebihan dari hewan lainnya dengan adanya intelektual yang dimiliki.[15] Asumsi demikian, secara inplisit menempatkan manusia pada posisi yang begitu rendah, dan tidak berdaya dalam berhadapan dengan hukum alam. Manusia dianggap sebagai sesuatu yang secara terus menerus berada dalam sikius perputaran hukum alam itu sendiri.

Berbeda dengan pendapat Barat, manusia dalam Islam menempati posisi yang mulia. Yaitu sebagai pemimpin atau khalifah Tuhan di bumi, untuk mengatur, mengelola dengan baik, dan membuat ketentraman di muka bumi. (QS. al-Hajju: 65). Kehidupan manusia di dunia ini disadari memang singkat. Akan tetapi bagi setiap Muslim, baik secara individual maupun komunal, haruslah menyadari bahwa kesempatan yang singkat merupakan kepercayaan (amanat) yang suci dan Allah. Oleh karenanya, ía harus membuktikan kesanggupannya dalam melaksanakan amanat tersebut. Kemampuan menjalankan amanat inilah yang menjadi corak tersendiri penyejarahan manusia Muslim. Sebab, dengan kesadaran itu pula, dapat terangkat diri seorang Muslim ke derajat yang tinggi dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain.

Kehidupan di dunia, bagi umat Islam dengan demikian merupakan proses menyejarah. Kehidupan ini memiliki hukum-hukum yang laras, di mana kekuasaan berlaku serta bergerak ke depan dan ke belakang, maju atau mundur, kaya atau miskin, berhasil atau gagal.

Hal lain yang penlu diungkapkan, berkaitan dengan konsep sejarah tiga dimensi para pakar modern. Konsepsi ini, dalam Islam telah memiliki dasar berpikirnya sejak empat belas abad lalu, berdasarkan pada firman Allah Swr .:“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dilakukannya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr: 18).

Perintah “untuk memperhatikan” dalam ayat di atas tertuju kepada setiap insan yang hidup sekarang, dan hal ini berarti tertuju pada dimensi waktu sekarang. Adapun perintah untuk menyeleksi dan mendeskripsikan apa yang telah dikerjakan, merupakan tinjauan dimensi waktu lalu, yaitu apa yang telah dikerjakan sebelumnya. Sementara “persiapan untuk hari esok” bermakna dimensi waktu mendatang, baik untuk keperluan hidup di dunia maupun uncuk han akhir (akhirat) kelak.

E. METHODE DAN PENDEKATAN SEJARAH

Menurur G.J. Renier, metode sejarah disamakan dengan filsafat sejarah formal (Geschichtsphilosophie). Bidang ini meneliti tentang logika dan epistimologi sejarah sebagai disiplin.[16] Metode penelitian sejarah menurut Ernst Bernheim, terdiri atas heuristik (mencari dan menemukan sumber-sumber sejarah), kritik (menilai otentisitas dan kredibilitas atau tidaknya suatu surnber); auffassung (sintesis fakta yang diperoleh melalui kritik sumber); dan darstellung (penyajian dalam bentuk tertulis).[17]

Adapun pendekatan sejarah diidentikkan dengan teori sejarah itu sendiri. Tholfson membagi pendekatan sejarah dalam tiga kategori. Yaitu kesinambungan (continuity), keragaman (diversty) dan perubahan (change).[18] Menurut hemat penulis, ketiga pola dasar (prototype) itu berguna dalam membuat kategori-kategori dalam sejarah, termasuk di dalam membuat periodesasi dan eksplanasi pada umumnya.

Penggunaan metodologi dan pendekatan sejarah dalam satu penelitian, berangkat dari satu argumentasi, bahwa salah satu jenis penelitian adalah penelitian sejarah, baik tentang biografi, perubahan suatu masyarakat dan berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan seseorang, dalam hubungannya dengan masyarakat. Kajian seperti itu memiiki nilai penting. Kajian itu, baik berkenaan dengan sifat, watak maupun pengaruh pemikiran atau ide dalam satu masyarakat; serta termasuk menganalisis karya-karya intelektual.[19]

Menurut Teuku Ibrahim Alfian, menulis sejarah, sebagai metode atau metodologi, bertumpu pada empat kegiatan pokok berikut:

a. Pengumpulan objek yang berasal dari zaman itu, dan pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis, dan lisan yang boleh jadi relevan;

b. Menyingkirkan bahan-bahan (atau bagian-bagian dari padanya) yang tidak otentik;

c. Mengurnpulkan kesaksian yang dapat dipercaya mengenai bahan-bahan yang otentik;dan

d. Menyusun kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi sesuatu kisah atau penyajian yang berarti.[20]

Sebagai pendekatan,[21] sejarah memiliki ciri khasnya, yaitu mengandalkan dan berpegang teguh pada konsep kronologis atau urutan waktu. Oleh karenanya, kejelasan rentang tahun, dasawarsa, atau abad sekalipun, menjadi begitu penting dan perlu jelas dalam pemanfaatan pendekatan ini. Persoalan rentang tahun atau masa inilah, yang akan dituntut dengan adanya pembabakan (periodesasi), seperti yang akan dibahas dalam topik berikut.

Metode dan pendekatan sejarah dianggap penting dalam semua bidang ilmu. Sebab setiap ilmu, termasuk perkembangan teori-teorinya memiliki sejarah. Untuk memahami isi sebuah kebudayaan pun, pada suatu titik perkembangannya, banyak ditentukan oleh sejarah. Karenanya, perlu pendekatan sejarah dalam pengkajian kebudayaan itu.[22] Signifikansi metode dan pendekatan ini, juga dipakai dalam Islam dalam semua bidang kajiannya. Hal ini karena sebagian ajaran Islam, dibentuk dan dilengkapi sejarah—dan karena itulah, sejarah dalam sebagiannya digolongkan sebagai ajaran. Misalnya saja, ketika berbicara sunnah, secara otomatis berbicara tentang biografi Nabi Muhammad. Begitu juga halnya dengan hukum Islam, bahwa perjalanan dan perkembangannya, secara periodik telah menemukan jati dirinya dalam historisitasnya, yang secara lebih khusus disebut dengan Tarikh aI-Tasyrikh.

F. UNSUR-UNSUR FILSAFAT SEJARAH DAN RUANG LINGKUP PEMBAHASANNYA

Filsafat mengkaji masalah-masalah kebenaran, kebaikan dan keindahan. Sebagai salah satu cabang filsafat ilmu, filsafat sejarah berangkat dari ketiga hal ini juga. Filsafat sejarah sebagai salah satu cabang filsafat khusus, juga membicarakan masalah kebenaran dan kebaikan. Hanya saja khusus aspek keindahan atau estetika, nampaknya tidak pernah memainkan peranan penting dalam histonisitas filsafat sejarah. Sebaliknya, mengenai kebaikan atau etika, justru memainkan peranan yang lebih menonjol dan penting, serta sama menonjolnya dengan masalah kebenaran.

Kajian di seputar masalah kebaikan memang disadari sebagai aspek yang menjadi tolok ukur dalam melihat realitas kesejarahan. Barangkali karena itulah, masalah kebaikan menjadi perhatian penting dalam kajian filsafat sejarah. Persoalan-persoalan yang diajukan dalam masalah ini semisal: Apa yang dapat disumbangkan oleh pengkajian sejarah, agar dunia ini menjadi lebih baik dan adil? Sejauh mana norma dan nilai-nilai (kemanusiaan) dapat mempengaruhi gambaran sejarawan mengenai masa silam?

Kajian di seputar kebenaran, sebagai permasalahan utama yang digumuli filsafat sejarah. Permasalahan yang diajukan semisal: Sejauh mana sejarawan dapat memperoleh pengetahuan yang benar mengenai masa silam, dan bagaimana sifat pengetahuan itu? Pertanyaan yang diajukan ini meliputi sejumlah permasalahan baru, yang sekaligus menjadi unsur-unsur filsafat, yang akan diterangkan berikut ini.

• Unsur-unsur Filsafat Sejarah

Menurut ER. Ankersmit, ada tiga unsur filsafat sejarah. Ketiganya diakui mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Akan tetapi masing-masing unsur memiliki wawasan permasalahan dan pembahasan sendiri. Ketiga unsur itu adalah historiografi, filsafat sejarah spekulatif dan filsafat sejarah kritis. Historiografi[23], atau sejarah dan penulisan sejarah, yaitu pembahasan di seputar penelitian yang dilakukan filosof sejarah yang bersifat deskriptif terhadap karya-karya sejarah yang telah ada. Kegiatannya antara lain berusaha menjawab pertanyaan sebagai berikut: Apa yang ditulis oleh para ahli sejarah termasyhur, baik pada masa silam maupun pada masa kini? Bagaimana ciri karya sejarah pada umumnya? Adakah sejarawan (ahli sejarah) dengan maksud tertentu dalam penulisannya? Dapatkah filosof sejarah melihat satu evolusi sejarah dari abad ke abad, secara evolutif kontinuitif serta bagaimana cara-cara ahli sejarah menulis peristiwa sejarah?

Filsafat Sejarah Spekulatif (the Speculative Philosophy of History), yaitu kajian di sepurar dua makna kata sejarah itu sendiri. Kedua makna kata sejarah dimaksud, pertama sebagai proses historis; dan kedua sebagai penulisan proses historis menurut kaidah-kaidah ilmu sejarah. Agak berbeda dengan ini, menurur Hegel, unsur filsafat sejarah jenis ini cenderung kepada makna sejarah yang pertama di atas, yaitu filsafat sejarah sebagai proses historis. Maksudnya, seorang filosof sejarah spekulatif memandang arus sejarah faktual dalam keseluruhannya, dan berusaha menemukan suatu srruktur dasar dalam arus sejarah. Dari situ filosof sejarah spekulatif menerawang kerja ahli sejarah lebih jauh. Kalau ahli sejarah menerangkan dan melukiskan peristiwa masa lalu dengan menerima kejadian historis seperti adanya, tetapi filosof sejarah lebih dari itu, ia untuk mencari struktur-dalam yang tersembunyi dalam proses historis. Filosof sejarah spekulatif berusaha menerangkan, mengapa sejarah berlangsung demikian, dan hanya dapat benlangsung demikian?

Filsafat Sejarah Kritis (the Critical Philosophy of History) , adalah unsur yang memiliki lingkup kerja, yaitu, apabila seseorang berusaha meneliti sarana-sarana yang dipergunakan ahli sejarah, dalam menerangkan peristiwa masa lalu, dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan. Arena kerja filosof sejarah kritis in dengan demikian, tidak tenlepas dari karya sejarah yang telah diwujudkan oleh ahli sejarah. Sebab, dengan pengkajian karya sejarah tersebut, akan diketahui bermacam sarana yang dipergunakan penulisnya.[24]

Berbeda dengan Ankersmit, Bauer membedakan filsafat sejarah formal (Geschiechte Philisophze) dan filsafat sejarah. Filsafat sejarah formal dimaksudkan dengan perihal pengkajian dan penyelidikan mengenai logika dan epistimologi sejarah, sedangkan filsafat sejarah hanya ingin menemukan makna dan seluruh proses sejarah.[25]

G. PERIODESASI DALAM SEJARAH

Dalam rekonstruksi sejarah, membuat periodesasi atau pembabakan merupakan sesuatu yang penting. Hal itu untuk menciptakan sifat-sifat kronologis dan sistematisasi periode sejarah berdasarkan urutan waktu dan urutan terjadinya peristiwa itu sendiri.

Lebih dari itu, periodesasi menjadi teknik rekonstruksi dalam sejarah, yang jika tidak dibuat, rekonstruksinya akan mengambang, tidak jelas dan tidak fokus. Yang jelas, tanpa mempertimbangkan penyusunan periodesasi, sejarawan akan mengalami kesulitan sendini dalam kerjanya, walaupun dengan menganut atau mengangkat tema tertentu sekalipun.[26]

Periodesasi itu sendiri merupakan pembabakan-pembabakan waktu. Setiap babakan merupakan satu komponen dan kesatuan yang mempunyai ciri khas, serta merupakan kebulatan untuk satu jangka waktu tertentu dengan kekhasannya.

Untuk menyusun periodesasi, para ahli berbeda dalam menetapkan dasar kerangka pikirnya. Sehingga dengan perbedaan itu, terdapat beberapa aliran dalam pembuatan periodesasi ini. Hal-hal yang menjadi ciri khusus dalam menyusun periodesasi ini, dan sekaligus menjadi faktor munculnya aliran-aliran. Nouruzzaman mencatat aliran-aliran tersebut:

1. Aliran yang menganggap ciri khusus, ialah pada bentuk negara atau pada sistem politik yang dianut oleh pemerintahan negara.

2. Aliran yang menganggap bahwa tingkat kemajuan ekonomilah yang menjadi ciri khususnya, dengan alasan faktor ekonomi sangat dominan, dalam mendorong terjadinya proses intergras sesuatu masyarakat; ekonomi merupakan faktor penting pula yang mempengaruhi intergrasi sosial, politik budaya, dan sebagainya.

3. Aliran yang menganggap tingkat kemajuan peradaban (civilization) sebagai ciri khusus.

4. Aliran yang menganggap tingkat kemajuan kebudayaan (cultare) sebagai ciri khusus.

5. Aliran yang menganggap masuk dan berkembangnya sesuatu agama sebagai ciri khususnya.[27]

Masih dapat disebut periodesasi jenis lain, misalnya antar kerajaan rezim dan orde tertentu, antar abad dan era tertentu. Periodesasi yang berlandaskan pada orde, misalnya di Indonesia, dikenal adanya Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi dan seterusnya. Begitu juga dengan periodesasi dalam sejarah Islam, yang memiiki ciri dan bentuk tersendiri, yaitu perpaduan antara rezim, tanpa berdasarkan tahun.

Menurut Harun Nasution, periodesasi sejarah Islam dibedakan dalam tiga babak besar; yaitu periode klasik, periode pertengahan dan periode modern.[28]

Dapat ditegaskan, bahwa periodesasi pada hakikatnya sebagai satu rekonstruksi atau penulisan sejarah, yang dengannya, kerja sejarawan semakin mudah. Kemudian dapat dimengerti pula, bahwa periodesasi merupakan hasil kerja dan hasil berpikir sejarawan. Oleh karenanya, kenisbian atau kerelatifannya tak dapat terhelakkan.

Kerelatifan satu periodesasi yang disusun seseorang sejarawan, tidak tertutup kemungkinan adanya periodesasi dalam kerangka dan wujud yang lain. Hal itu menyebabkan tidak samanya periodesasi yang disusun seseorang dengan yang lainnya, walaupun terhadap satu peristiwa yang sama.

H. PREDIKSI SEJARAH

Prediksi dalam sejarah (history of future), bisa diartikan sebagai pembuaran proyeksi ke depan atau ke masa depan. Hal ini dianggap sangar perlu, karena tanpa pandangan atau proyeksi ke depan tadi, sejarah dianggap serupa seseorang yang meloncat dalam gelap, yaitu melangkah tanpa arah pasti.

Hanya saja, seperti disebutkan Kunrowojoyo, prediksi dalam sejarah bukanlah tugas pokok sejarawan, terapi yang menjadi tugas utama sejarawan adalah merekonstruksi masa lampau. Menurut sejarawan dan budayawan muslim ini, tentang prediksi itu, awal kali muncul, yang ada hanya ramalan (prediksi) cuaca, ramalan bisnis dan ramalan statistik. Akan tetapi kalaupun sejarawan mau membuat prediksi dalam sejarah, yaitu berbicara tentang masa depan, ía harus ekstra hati-hati. Sebab, sejarah tidak memiliki fakta untuk itu. Prediksi sejarah menurut Kuntowijoyo, hanya ekstrapolasi, atau perkiraan berdasarkan historical trend.[29]

Tak jauh berbeda dengan Kuntowijoyo, untuk melakukan prediksi historis ini, Louis Gottschalk, menawarkan langkah operasional lebih konkret dan dianggap dapat membantu ahli sejarah. Pertama, operasional pemikiran dengan penuh kehati-hatian sejarawan dalam melakukan prediksi-prediksi sendiri. Kedua, operasional dengan membuat analogi sejarah atau mengqiyaskan dengan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, serta dengan mengusut trend-trend sejarah.[30]

Sepanjang pengamatan penulis, prediksi sejarah kurang mendapat apresiasi positif dari berbagai pihak. Hal demikian, tidak seharusnya terjadi. Sebab, dengan prediksi, sejarah akan “ditulis” dengan penuh kecermatan dan hati-hati, di samping akan lebih meningkatkan kewaspadaan, dan keaktifan berpikir siapa saja. Hal itu, sekaligus sebagai langkah antisipatif dan kebijakan prefentif, sebelum peristiwa yang sebenarnya teradi.

Hanya saja, prediksi atau ramalan dibedakan antara ramalan mikro dan ramalan makro. Di sisi lain lagi, ada yang membedakan antara ramalan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Ramalan mikro dan jangka pendek adalah hak praktisi, semisal politisi untuk dunia politik, polisi untuk kriminalitas, pengusaha untuk bisnis. Adapun ramalan makro dan jangka panjang adalah hak para filosof. Hak dan kancah kerja sejarawan serta ilmuan sosial lainnya adalah ramalan makro dan jangka menengah.[31]

Perlu dibedakan antara ramalan atau prediksi dalam sejarah dengan prediksi dalam politik atau sosiologi seperti tersebut di atas. Dalarn politik dan sosiologi, prediksi cenderung didasarkan pada fenomena sosial, dan ramalan dalam bidang ini diperlukan sebagai antisipasi-antisipasi ke depan agar terhindar dari kebijakan-kebijakan yang keliru dan bahaya. Akan tetapi prediksi dalam sejarah harus dilandaskan pada data masa lalu itu sendiri. Dari peristiwa masa lalu itulah, prediksi kecenderungan masa depan diprioritaskan secara optimal.

Sejarawan dengan demikian merupakan perumpamaan seorang tukang potret di kamar rongcent, yang dengan hasil rongcent yang dimiliki berusaha menampilkan gambar yang baik. Pada gilirannya, hasil rongcent itu akan dijadikan tolok ukur dalam melakukan tindakan di masa-masa mendatang. Begitulah perumpamaan prediksi dalam sejarah. Seumpama rongcent peristiwa, yang dengan sinyal-sinyal zaman, dapat dianalogikan pada peristiwa lain yang akan terjadi.

I. TOKOH-TOKOH FILSAFAT ISLAM DAN BARAT

UNTUK melihat bagaimana perkembangan pemikiran kesejarahan-filsafat sejarah dalam Islam, sebagai akernatif untuk kelengkapan tinjauan ini, ada baiknya diihat dulu sejumlah pemikiran tokoh di bidang ini. Misalnya tokoh yang tidak asing lagi, baik di Timur maupun di Barat, yaitu Ibn Khaldun yang dianggap sebagai representasi periode kiasik. Filosof dari barat yang taka sing lagi adalah mark. Selain dari kedua filosof tersebut, masih banyak filosof-filosof lain seperti Malik Bin Nabi, Murtadha Muthahhari, Faziur Rahman, Au Syari’ati, dan Abdul Hamid Siddiqi. Tetapi yang akan dibahas sekilas yakni pemikiran filsafat sejarah dari ibn Khaldun dan mark.

· IBN KHALDUN (1332-1406)

Filsafat sejarah menurut Khaldun -seperti disadurkan oleh Zainab al-Khudhairi- adalah, bahwa kalau sosiologi mengkaji fenomena-fenomena sosial, baik tentang masyarakat yang masih berkembang atau pun yang telah mapan, yang dikaji secara eksperimental; maka filsafat sejarah mengkaji fenomena-fenomena tersebut secara lebih umum, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, dan mengkajinya dari segi tujuan yang ingin dicapai, serta hukum mutlak yang mengendalikannya sepanjang sejarah.[32]

Menurut Khaldun, masyarakat merupakan makhluk histories yang hidup dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum khusus, yang berkenaan dengannya. Hukum itu dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap sejumlah fenomena sosial. Ia berpendapat, sesungguhnya ‘ashabiyah merupakan asas berdirinya suatu negara, dan faktor ekonomis merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat. Dan pendapat itu, Khaldun dapat dianggap sebagai tokoh pelopor materialisme sejarah, jauh sebelum Karl Marx.

Dengan karya dan uraiannya yang luas dan dalam, Khaldun terkenal sebagai perintis dan pelopor The Culture Cycle Theory of History, yaitu satu teori filsafat sejarah yang telah mendapat pengakuan di dunia Timur dan Barat tentang kematangannya. Khaldun dengan teorinya berpendapat, bahwa sejarah dunia itu adalah satu sikius dari setiap kebudayaan dan peradaban. Ia mengalami masa lahirnya, masa naik (masa berkembang), masa puncaknya, kemudian masa menurun dan akhirnya masa lenyap atau hancur.[33] Khaldun mengistilahkan siklus itu dengan “tiga tangga peradaban”. Sekadar ilustrasi, Khaldun menegaskan, bahwa kesatuan suku Badui (‘aghbiyah) dapat mengantarkan pada terbentuknya suatu negara; dan cara hidup yang berpindah-pindah (istiqrar) akan menghasilkan kejayaan (sharaf) dan berakhir pada kehancuran.[34]

Aliran dan Konsepsi Gerak Sejarah Khaldun

Menurut Zainab al-Khudhairi, Ibn Khaldun berafiliasi dalam tiga aliran filsafat sejarah. Pertama, aliran sejarah sosial. Aliran ini berpendapat bahwa fenomena-fenomena sosial dapat ditafsiri, dan teori-teorinya dapat diikhtisarkan dari fakta-fakta sejarah. Filosof sejarah yang menekuni dan populer dengan aliran ini adalah Vico.

Kedua, aliran ekonomi. Aliran ini menginterpretasikan sejarah secara materialis dan menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis. Di samping itu, setiap perubahan dalam masyarakat, dan fenomena-fenomenanya, mengembalikan pada faktor ekonomi. Karl Marx adalah tokoh yang mengembangkan dan dianggap pengembang aliran filsafat sejarah kedua ini.

Ketiga, Khaldun berafiliasi dengan aliran geografis. Aliran ini memandang manusia sebagai putra alam lingkungan, dan kondisi-kondisi alam di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam penyejarahannya, seseorang, masyarakat-masyarakat dan tradisi-tradisinya dibentuk oleh lingkungan dan alam di mana ia berada. Adam dan lingkungan memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat, walaupun manusia sendiri juga dapat mempengaruhi dan berinteraksi dengan lingkungannya.

Kemudian, menurut Khaldun, fenomena-fenomena sosial tunduk pada hukum perkembangan. Demikian juga dengan gerak sejarah, ia mengalami perkembangan. Yaitu mempunyai corak dialektis.[35] Umur negara misalnya, diserupakan perkembangannya dengan umur manusia, yang pada mulanya lahir, berkembang besar, kemudian tua dan meninggal. Begitu juga dengan negara, ia terus berkembang, sebab kehidupan itu sendiri berada dalam gerak dan perkembangan yang berkesinambungan. Selanjutnya, negara meningkat pada perkembangannya, dan peningkatan terhadap perkembangan itu berarti peningkatan terhadap kehidupan.

Di sisi lain, ketuaan pada satu negera itu datang dengan sendirinya. Ia tidak dapat dihindarkan. Dalam konteks ini, kehidupan manusia adalah sebuah analogi. Kehidupan manusia itu tak dapat ditunda. Ketuaannya datang sendiri. Manusia, apabila ajalnya tiba, tidak dapat ditunda sedetik pun.

Selanjutnya, perkembangan menurut Ibn Khaldun tidaklah berupa lingkaran dan garis yang lurus (linear), tetapi berbentuk spiral. Misalnya negara, bahwa setiap kali negara mencapai klimaks kejayaannya, seiring itu pula akan memasuki masa senja dan mulai mengalami keruntuhan untuk digantikan oleh negara lain yang baru. Kemudian negara baru ini tidaklah dimulai dari nol, tetapi dengan mengambil sebagian dari peninggalan, warisan dan tradisi negara yang lama. Negara baru itu melengkapinya, menciptakan kebudayaan yang lebih maju dan berbeda dari negara sebelumnya, meskipun memang pada mulanya perbedaanya tidak begitu kontras, namun, lama kelamaan sama sekali konitras.

Seseorang yang memerintah suatu negara, ia akan menggunakan tradisi orang-orang yang memerintah sebelumnya. Ia akan banyak memungut tradisi sebelumnya dan memadukan dengan tradisi pada zamannya. Meskipun demikian, terdapat perbedaan antara tradisi terdahulu dengan tradisi generasinya. Akan tetapi setelah itu, kalau muncul lagi negara baru, maka tradisi ini pun bercampur dengan tradisi negara baru itu, dan sebagiannya, mungkin malah bertentangan. Perbedaan tradisi generasi terakhir semakin kontras dengan tradisi generasi pertama. Demikianlah perubahan itu terjadi, seiring dengan berlalunya waktu; sedikit demi sedikit perubahan terjadi, dan akhirnya berkesudahan dengan perbedaan secara total.[36]

Gerak perkembangan menurut Khaldun, berarti gerak ke depan dan tidak terbatas, serta selalu bertujuan pada kerentaan dan kerusakan. Oleh karenanya, berdasarkan pada contoh negara di atas, sejarah itu, menurut Rahman, merupakan kisah negara-negara yang muncul, turnbuh, dan hancur. Kehancuran itu sendiri merupakan sesuatu yang pasti, dan satu-satunya hal yang dapat terhindar dari kehancuran adalah perkembangan.[37]

Faktor yang Mengendalikan dan Mempengaruhi Perjalanan Sejarah

Segala sesuatu yang ada di alam selalu berkembang, termasuk di antaranya negara, adat kebiasaan (tradisi), agama dan profesi. Menurut Khaldun, ada tiga faktor dominan yang mempengaruhi dan mengendalikan perkembangan perjalanan sejarah dari waktu ke waktu. Ketiganya akan diurutkan berikut mi.

a. Faktor Ekonomi

b. Faktor geogeafis

c. Faktor Agama

Hukum Determinisme Sejarah

Mengenai hukum determinisme sejarah, dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, Hukum Kausalitas. yaitu hukum determinisme[38] yang berkaitan dengan ilmu-ilmu kealaman pada mulanya. Khaldun menerapkan dan menjadikan hukum ini sebagai salah satu di antara dua prinsip sejarah-filsafat sejarah. Ia meyakini adanya hubungan kausalitas antara kenyataan-kenyataan dan fenomen-fenomen (fenomena). Ta berasumsi, bahwa semua realitas di alam ini, dapat dicari hukum kausalitasnya. Kecuali, mukjizat-mukjizat para Nabi dan karom.ah-karomah para Wali, yang tidak mungkin diukur dan diuji dengan hukum kausalitas tadi. Mukjizat dan karomah adalah pemberian Allah kepada sejumlah hambaNya yang salih, sebagai manusia-manusia pilihan. Kepada hamba-hamba pilihan ini (Nabi), Allah menurunkan firman-Nya; atau Allah mengaruniainya pengetahuan-pengetahuan luar biasa, lewar ucapan-ucapan dan berita-berita tentang hal ghaib yang tidak diketahui manusia biasa, kepada orang yang dimuliakan Allah (karomah).

Kedua, Hukum Peniruan. Menurut Khaldun, peniruan itu sendiri merupakan satu hukum yang umum. Peniruan menyebabkan kesamaan sosial. Ia menguraikan, bahwa kelompok yang kalah selalu meniru kelompok yang menang dalam pakaian, tanda-tanda kebesaran, aqidah dan adat. Peniruan semacam itu mendorong gerak perkembangan maju ke depan, sebab akan menuju ke kondisi yang lebih baik. Peniru sendiri, selalu berusaha melengkapi dengan yang terbaik dan apa yang ditirunya, sehingga dengan demikian menciptakan keadaan yang lebih baik.[39]

Ketiga, Hukum Perbedaan. Hukum ini juga diasumsikan sebagai salah satu hukum determinisme sejarah. Masyarakat, menurut Khaldun tidaklah sama secara mutlak, tetapi terdapat perbedaan-perbedaan yang harus diketahui sejarawan. Jika hal ini tidak diketahui, seorang sejarawan dianggap memiliki potensi kuat untuk melakukan dan membuat kesalahan dalam pengkajian sejarah.

Satu dinasti, diakui, mengikuti tradisi yang telah ada pada dinasti sebelumnya, sebagaimana rakyat mengikuti agama rajanya. Akan tetapi, dalam waktu yang bersamaan, dinasti itu juga mengembangkan tradisinya sendiri, sehingga dengan demikian, terjadilah modifikasi tradisi. Kemudian kalau dinasti ketiga muncul, maka ia juga akan melakukan seperti apa yang dilakukan oleh dinasti kedua, yaitu mengembangkan tradisi sendiri, di samping mengadopsi tradisi dinasti lama. Akan tetapi harus disadari, bahwa antara tradisi dinasti pertama dengan dinasti kedua ada bedanya, apalagi antara tradisi dinasti pertama dengan tradisi dinasti ketiga, tentu sudah jauh berbeda dengan modifikasi-modifikasi besar, sehingga pada gilirannya, akan terwujud perbedaan total. Khaldun lebih jauh menghubungkan, bahwa perbedaan-perbedaan semakin membesar tersebut, terjadi karena faktor geografis, fisik, ekonomi, politik, adat-istiadat, tradisi dan agama.[40] Dari itu, jelaslah bahwa pendapat Khaldun tentang determinisme sejarah, berjalin kuat dengan faktor yang mengendalikan dan mempengaruhi perjalanan sejarah.

· KARL MARX

Penafsiran sejarah Karl Marx bertumpu pada dalil, bahwa produksi dan distribusi barang.-barang serta jasa merupakan dasar untuk membantu manusia dalam mengembangkan eksistensinya. Dengan istilah lain, pendekatan materialisme historis Karl Marx in melakukan penafsiran sejarah dari aspek ekonomi, menempatkan pertukaran barang dan jasa sebagai syarat untuk menata segenap lembaga sosial yang ada.

Menurut Karl Marx, masyarakat harus dipahami dalam kerangka struktural, yaitu terdiri atas lapisan atas (suprastruktur) dan lapisan bawah (infrastruktur). Suprastruktur merupakan cerminan kristalisasi dari lapisan bawah, yang di dalamnya memuat bidang sosial, budaya, politik, filsafat, agama dan kesenian. Motor penggerak dari masyarakat dimaksud, terungkap dalam penistiwa ekonomi. Jadi, dengan demikian gerak masyarakat, gerak sejarah, tentunya dikembalikan pada kondisi-kondisi material. Berkenaan dengan keterkaitan antara kondisi material kehidupan manusia dengan ide-ide yang turut serta dengannya, terdapat dalam kalimatnya: ... it is not the consciousness of men, that determines their being, but on the contrary, their social being that determines their consciusness”.[41] Dengan pernyataan ini, berarti kehidupan sosial ekonomi ditempatkan sebagai perangkat yang mendasari setiap kiprah kesadaran manusia. Atau dengan kata lain, menurut Marx, faktor materi selalu menjadi penentu, sedangkan faktor kesadaran harus ditentukan oleh keadaan material yang tercipta.

Materialisme Dialektis

Materialisme dialektis,[42] berasumsi dan bertitik tolak dari materi sebagai satu-satunya realitas. Menurut Karl Marx, materialisme dialektik atau dialektik materialisme, merupakan keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus tanpa ada yang mengantarinya. Selanjutnya dari proses perubahan itu kemudian timbul kesadaran melalui proses pertentangan. Materi menjadi sumber keberadaan benda-benda alamiah, yang senantiasa bergerak dan berubah tanpa henti-hentinya. Pergerakan dan perubahan itu sendiri terjadi menuju pada perkembangan ke tingkat yang lebih tinggi. Pergerakan dan perubahan menuju pada perkembangan itu berlangsung secara dialektis, yaitu melalui pertentangan-pertentangan yang di dalamnya telah mengandung benih perkembangan sendiri. Proses perubahan itu sendiri berlangsung secara revolutif, bukan secara evolutif.

Materialisme dialektis berarti mengacu pada pengertian, bahwa akan timbul benda-benda lapisan tinggi dan lapisan rendah, yaitu benda hidup dari benda tidak hidup. Menurut asumsi ini, bahwa proses aksi serta reaksi di dalam alam dapat dijelaskan sebagai manifestasi dari gerakan materi yang berdialektis. Dari situ dapat disimpulkan, bahwa materialisme dialektis merupakan sejarah perkembangan alam berdasarkan benih yang hadir dari kekuatan yang ada pada diri alam itu sendiri[43]

Karl Marx dalam mematangkan argumentasinya itu, kelihatan tidak tenlepas dari unsur-urisur dialektis yang diadopsi dari Hegel. Paling tidak ada dua unsur yang sangar dominan yang dipakainya, yaitu tentang terjadinya pertentangan antara segi-segi yang berlawanan, dan gagasan bahwa segala sesuatu berkembang terus. Kedua unsur dari hukum dialektika ini, bagi Hegel, dibatasi penggunaannya untuk dunia abstrak, yang penerjemahannya mengambil wadah dalam pikiran manusia. Akan tetapi Marx justru membalikkannya, bahwa unsur hukum dialektika itu diberlakukan untuk dunia nyata, materi atau dunia benda konkret. Malah, dengan lebih agresif Marx berpendapat, bahwa segala sesuatu yang bersifat ruhani merupakan buah hasil dari materi. ini berbalikan dengan dikatakan Hegel.[44] Setiap benda atau keadaan dalam dirinya sendiri, menimbulkan segi-segi yang berlawanan dan bertentangan satu sama lain. Realitas ini adalah awal dari kontradiksi internal yang menyertai setiap fenomena kejadian kebendaan. Kemudian pertentangan antara keadaan yang kontradiktif itu, akan melahirkan keseimbangan, dan akhirnya akan muncul benda atau keadaan yang telah dinegasikan dan lebih tinggi nilai dan mutunya.

Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa materialisme dialektis nampak merupakan jawaban persoalan filsafat di zarnan Marx sendiri. Ia merupakan antitesis, atau paling tidak, merupakan modifikasi dari corak triadik dialektis Hegel. Marx menginginkan sejumlah teori baru yang dimunculkan, harus berhubungan langsung dengan kondisi zamannya. Oleh karenanya, arah filsafatnya cenderung pada “praktis sosial revolusioner”. Menurut Marx, filsafat dialektis bukan lagi bertugas memahami perihal keterasingan atau alienasi (pikiran manusia dengan alam-bendanya), tetapi bagaimana upaya menghapus keterasingan itu. Teori Marx juga bukan sekadar memahami masyarakat berkelas, tempat bersemi segala ketidakadilan dan penghisapan masyarakat bawah, akan tetapi bagaimana ketidakadilan dan penghisapan itu dihapuskan.[45] Begitu juga filosof, biasanya hanya mengubah pengertian mereka tentang dunia, padahal yang lebih perlu ialah, agar dunia itu sendiri yang diubah.

Materialisme Historis

Manusia dalam konsepsi penganut materialisme historis, hanya dapat dipahami selama ia ditempatkan dalam konteks sejarah. Manusia pada hakikatnya adalah insan sejarah. Hal ini dimaksudkan, bahwa manusia sebagai pelaku dan pencipta sejarah, yang dapat membuat sejarah baik berskala besar atau kecil.

Pendekatan materialisme historis Karl Marx, seperti telah diungkapkan di atas, bertumpu pada dalil bahwa produksi dan distribusi barang-barang serta jasa merupakan dasar unruk membantu manusia dalam mengembangkan eksistensinya. Dengan demikian itulah, perubahan sejarah terjadi. Lebih jauh ia berteori, perubahan sejarah terjadi dengan pertentangan kelas-kelas sosial. Jadi kelas-kelas sosial itu sendiri merupakan perubah sejarah; dan yang menentukan jalan sejarah bukan individu-individu tetapi kelas-kelas sosial itu.

Bertolak dari interpretasi ekonomi terhadap sejarah inilah, selanjutnya materialisme historis Karl Marx, dirinci dalam dinamika perubhan sosial kekuatan produksi dan hubungan produksi. Karl Marx memunculkan tesis sejarah perkembangan masyarakat, yaitu sejarah kernanusiaan yang berubah, dari satu formasi sosial ekonomi ke formasi yang lebih baru, meningkat dalam lompatan-lompatan yang revolusioner. Menurutnya, perkembangan sejarah kemanusiaan berwujud dalam lima tahapan. Kelima tahap tersebut saling terkait dan menunjukkan progresivitas yang berarti menuju tahap yang ideal. Kelima tahap tersebut dapat diurutkan berikut ini.

1. Tahap masyarakat komunal primitive

2. Tahap masyarakat perbudakan

3. Tahap Perkembangan masyarakat feodal

4. Tahap masyarakat kapitalis

5. Tahap masyarakat social

2. AKSIOLOGI FILSAFAT SEJARAH TERHADAP PENDIDIKAN

Di sini diuraikan dua hal, pertama kegunaan pengetahuan filsafat sejarah dan kedua cera menyelesaikan masalah.

A. Kegunaan Filsafat Sejarah Terhadap Pendidikan

Setiap disiplin ilmu memiliki kegunaan, baik sifatnya aplicative maupun secara teoretik atau non-aplicative. Sama halnya filsafat sejarah. Banyak sekali kegunaan mempelajarinya, antara lain dapat disederhanakan berikut ini:

a. Dengan berpegang dan mengkaji lebih jauh teori-teori dalam filsafat sejarah, maka kiranya filsafat sejarah dapat mempertajam kepekaan kritis seorang peneliti sejarah.

b. Filsafat sejarah dengan sejumlah teori dan kerangka acuan kajinya, antara lain untuk menawarkan pengertian, mengenai untung dan ruginya berbagai pendekatan dalam penelitian tentang peristiwa kemanusiaan di masa lalu, yang dilakukan oleh sejarawan.

c. Dengan mempelajari filsafat sejarah, menjadikan peneliti sejarah lebih waspada terhadap pendapat-pendapat yang keliru mengenai tugas dan tujuan pengkajian sejarah itu sendiri.[46]

Apabila dikaitkan dengan manfaat mempelajari sejarah dalam Islam, filsafat sejarah kelihatan memiliki muatan kepentingan lebih spesifik. Menurut Nouruzzaman Shiddiqie, mempelajari filsafat sejarah lebih diartikan secara religius. Filsafat sejarah memiliki kepenitngan untuk mencipta hubungan vertikal antara manusia (pengkaji sejarah) dengan Khaliqnya. Masih menurut Nouruzzaman Shiddiqie, setidaknya ada tiga tujuan mempelajari sejarah-filsafat sejarah dalam Islam:

1. Sebagai kewajiban kaum Muslimin untuk meneladani Rasulullah;

2. Sejarah sebagai alat untuk menafsirkan dan memahami al-Qur’an dan Al-Hadits; dan

3. Untuk merekam peristiwa penting masa lalu, baik sebelum maupun sesudah kedatangan Islam.[47]

Merujuk pada manfaat mempelajari sejarah filsafat sejarah, dapat dipertegas bahwa hubungan antara sejarah dan filsafat sejarah —dan sekaligus hubungan antara sejarawan dan filosof sejarah, dalam tataran pengembangan dan pengkajian keilmuan sejarah— merupakan “mitra” yang perlu menciptakan hubungan secara terus menerus, walaupun secara tidak langsung. Hal itu karena dalam operasional keilmuannya, baik sejarawan maupun filosof sejarah, saling butuh keahlian dan sumbang pikir satu sama lain. Sejarawan, untuk menghantarkan karyanya pada taraf kelogisan dan keterpercayaan, perlu memanfaatkan teori yang ditawarkan filosof sejarah. Sementara filosof sejarah sendiri harus menyadari, bahwa kerja kajiannya tidak dapat dilepaskan dari hasil penelitian atau karya sejarah yang disusun oleh sejarawan.

Filsafat sejarah menjadi sangat penting diperhatikan tatkala mendesain kurikulum pendidikan. Penting juga direnungkan oleh guru mata pelajaran sejarah. Pelajaran sejarah akan kering bila hanya menceritakan peristiwa; sebaliknya pelajaran sejarah akan sangat menarik bila guru menekankan juga pelajaran yang dapat diambil dan peristiwa itu. Tetapi, untuk mampu seperti itu diperlukan guru sejarah yang profesional.[48]

B. Cara Filsafat Menyelesaikan Masalah.

Kegunaan filsafat yang lain ialah sebagai methodology, maksudnya sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah bahkan sebagai metode dalam memandang dunia (world view).

Dalam hidup kita, kita menghadapi banyak masalah. Masalah artinya kesulitan. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah itu terselesaikan. Ada banyak cara dalam menyelesaikan masalah, mulai dari yang amat sederhana sampai yang rumit.

Sesuai dengan sifatnya, filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Penyelesaian filsafat bersifat mendalam, artinya ia ingin mencari asal masalah. Universal, artinya filsafat ingin masalah itu dilihat dalam hubungan seluas-luasnya agar nantinya penyelesaian itu cepat dan berakibat seluas mungkin.

Banyak orang Islam tidak menyenangi sebagian budaya Barat, khususnya tentang kebebasan seks. Mereka mengatakan kebebasan seks harus diberantas. ini penyelesaian langsung. Sedikit mendalam bila kita mengusulkan perketat masuknya informasi dari Barat terutama yang menyangkut kebebasan seks, atau kita mengusulkan sensor film diperberat. Filsafat belum puas dengan penyelesaian itu. Lalu bagaimana?

Filsafat mempelajari asal usul kebebasan seks itu. Ditemukan, itu muncul dari paham Hedonisme. Maka kita perangi paham itu. Filosof lain belum juga puas, karena menurutnya Hedonisme itu belum penyebab paling awal, Hedonisme itu sebenarnya turunan Pragmatisme. Pragmatisme itu bersama dengan Liberalisme lahir dan Rasionalisme. Karena itu filosof ini mengatakan yang paling strategis ialah memerangi Rasionalisme itu. Apakah Rasionalisme itu penyebab pertama munculnya kebebasan seks? Untuk sementara, agaknya ya. Maka untuk memberantas kebebasan seks kita harus menjelaskan bahwa Rasionalisme itu adalah pemikiran yang salah.

Penyelesaian ini mendalam, karena telah menemukan penyebab yang paling asal. Penyelesaian itu juga universal, karena yang akan diperbaiki pada akhirnya kelak bukan hanya persoalan kebebasan seks, hal-hal lain yang merupakan turunan Rasionalisme juga akan dengan sendirinya hilang.[49]

BAB III

KESIMPULAN

Seperti yang telah penulis sampaikan di Bab pendahuluan, penulis membatasi kerangka penulisan pada 3 (tiga) hal ( dapat dibuka di halama 2 ). Maka penulispun menyimpulkan bahwa:

1. Ontologi dari filsafat sejarah yakni filsafat sejarah semacam “makhluk Banci” yang mampu memadukan di antara hal-hal yang tidak dapat dipersatukan. Hal ini dimaksudkan, karena filsafat sejarah berfungsi dan bertugas mematangkan kerja sejarawan serta eksistensi sejarah sendiri. Filsafat sejarah bukan bertugas untuk merekonstrnksi masa lalu, tetapi bagaimana rekonstruksi itu sendiri lebih efektif tidak salah menyimpulkan dan lebih mendekati kebenaran sebagai peristiwa yang sebenarnya terjadi (history as actuality). filsafat sejarah sebagai tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofis, untuk merigetahui faktor-faktor esensial yang mengendalikan perjalanan historis itu, untuk kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap, yang mengarahkan pada perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi.

2. Epistemologi filsafat sejarah Filsafat mengkaji masalah-masalah kebenaran, kebaikan dan keindahan. Sebagai salah satu cabang filsafat ilmu, filsafat sejarah berangkat dari ketiga hal ini juga. Filsafat sejarah sebagai salah satu cabang filsafat khusus, juga membicarakan masalah kebenaran dan kebaikan. Hanya saja khusus aspek keindahan atau estetika, nampaknya tidak pernah memainkan peranan penting dalam histonisitas filsafat sejarah. Sebaliknya, mengenai kebaikan atau etika, justru memainkan peranan yang lebih menonjol dan penting, serta sama menonjolnya dengan masalah kebenaran. Ada tiga unsur filsafat sejarah. Ketiganya diakui mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Akan tetapi masing-masing unsur memiliki wawasan permasalahan dan pembahasan sendiri. Ketiga unsur itu adalah historiografi, filsafat sejarah spekulatif dan filsafat sejarah kritis.

3. Aksiolopgi Filsafat sejarah Banyak sekali kegunaan mempelajarinya, antara lain dapat disederhanakan berikut ini:

a. Sebagai kewajiban kaum Muslimin untuk meneladani Rasulullah;

b. Sejarah sebagai alat untuk menafsirkan dan memahami al-Qur’an dan Al-Hadits;

c. Untuk merekam peristiwa penting masa lalu, baik sebelum maupun sesudah kedatangan Islam.

d. Dengan berpegang dan mengkaji lebih jauh teori-teori dalam filsafat sejarah, maka kiranya filsafat sejarah dapat mempertajam kepekaan kritis seorang peneliti sejarah.

e. Filsafat sejarah dengan sejumlah teori dan kerangka acuan kajinya, antara lain untuk menawarkan pengertian, mengenai untung dan ruginya berbagai pendekatan dalam penelitian tentang peristiwa kemanusiaan di masa lalu, yang dilakukan oleh sejarawan.

f. Dengan mempelajari filsafat sejarah, menjadikan peneliti sejarah lebih waspada terhadap pendapat-pendapat yang keliru mengenai tugas dan tujuan pengkajian sejarah itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir,

Filsafat Pendidikan Islami, ( Bandung : Rosda Karya, 2008)

Ahmad Tafsir,

Filsafat Imu, ( Bandung : Rosda Karya, 2007)

Misri A. Muchsin,

Filsafat Sejarah Dalam Islam, (Banda Aceh: Ar-Ruzz Khazanah Pustaka Indonesia, 2002)

M. Natsir,

Seputar sejarah dan muamaah, (Bandung : Al-bayan,1993)

Hasbullah,

Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Garfindo Persada, 1995,

Departemen Agama,

Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI, 2005.

Dick Hartoko,

Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), hIm. 99.

Zainab al-Hudhairi,

Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, (Bandung: Perpustakaan Salman ITB, 1975)

Effat Syarqawi,

Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Pustaka, 1986)

Harun Hadiwijono,

Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta; Kanisius, 1980)

Mazheruddin Siddiqi,

Konsepsi Qur’an Tentang Sejarah, terj. Nur Rachmi et. El., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986)

Effat Syarqawi,

Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Pustaka, 1986), hIm

Haidar Baqir,

“Pengantar Filsafat Sejarah A1-Qur’an, Menurut Muthahhari”, dalam Murtadha Murhahhari, Pendekatan Filsafat Sejarah: Menguak Masa Depan Umat Manusia, terj. Afif Muharnmad,(Bandung: Pustaka Hidayah, cet. 11, 1995)

Teuku Ibrahim Alfian,

Metode dan Metodologi Sejarah, Makalah, t. t.,

Nugroho Notosusanto,

Hakikat Sejarah dan Model Sejarah, (Jakarta: Pusat Sejarab Angkatan Bersenjata, 1964)

Ralph Linton,

The Study of Man, terj. Firman Syah, Antropologi Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, (bandung: Jemmars, 1984)

Azhar Djohan,

Suatu Kajian dasar Filsafat Sejaahr, (Banda Aceh: Unsyiah Press,1987)

Nashiruddin Baidan,

Metodologi Penafsiran A1-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajan, 2000)

Kuntowijoyo,

Pengantar ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995)

Dudung Abdurrahman,

Knitik lbn Khaldun dalam Penulisan Sejarah”, dalam Bunga RarnpaiBahasa Sastra dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Fak. Adab lAIN Sunan Kalijaga, 1993)

Fawzia Barun,

Malik Bin Nabi Sosiolog Muslim Masa Kini, terj. Munir A. Mum, (Bandung: Pustaka, 1998)

Ramli,

Peta Pemikiran Karl Marx: materialisme dialektis dan meterialisme histories (Yogyakarta : LKIS, 2000).

Franz Magnis-Suseno,

Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakanta: Kanisius, 1992)

K. Bertens,

Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1981)

Nouruzzaman Shiddiqie,

“Sejarah: Pisau Bedah Ilmu Keislaman” dalam Taufik Abdullah dan Rush Karim (ed), Metodologi Penelitian Agama: Sebuab Pe-ngantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989)

Robin George Collingwood,

The Idea of Histoiy, (London, New York: Oxford University Press, 1976)

Trygve R. Tholfson,

Historical Thinking, (New York; Harven and Row Publishers, 1967).

Louis Gottschalk,

Understanding History: A Primer of Historical Method, terj. NugrohoNotosusanto, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, cet. V 1986)

W. H.Walsh,

An Introduction to Philosophy of History, (lnggris: The Micmilan, 1950)

FR. Ankersmit,

Denken over Geschiedenis: Een overzicht van moderne geschied filostfische
opvattingen, terj. Dick Hartoko, Refleksi Tentang Filsafat Sejarah: Pendapat—pendapat Modern Tenrang Filsafat Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia, 1987)

Allan Nevins,

The Gateway to History, (New York: Dubleday & Companylnc., edisi revisi baru, 1962)

www.google.com/ Sejarah Pendidikan islam.



[1] M. Natsir, Seputar sejarah dan muamaah, (Bandung : Al-bayan,1993) hlm. 9

[2] Di akses dari internet, www.google.com/ Sejarah Pendidikan islam. pada 25 april 2009

[3] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Garfindo Persada, 1995, h. 1

[4] Departemen Agama, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI, 2005, h. 1

[5] W. H.Walsh, An Introduction to Philosophy of History, (lnggris: The Micmilan, 1950), hlm. 12.

[6] FR. Ankersmit, Denken over Geschiedenis: Een overzicht van moderne geschied filostfische
opvattingen, terj. Dick Hartoko, Refleksi Tentang Filsafat Sejarah: Pendapat—pendapat
Modern Tenrang Filsafat Sejarah
, (Jakarta: PT Gramedia, 1987), hIm. 1.

[7] Dick Hartoko, Karnus Populer Filsafat, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), hIm. 99.

[8] Zainab al-Hudhairi, Filsafat Sejarab Ibnu Khaldun, (Bandung: Perpustakaan Salman ITB, 1975), hIm. 54.

[9] Effat Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 112- 113

[10] Francois Marie Arout Voltaire lahir di paris pada 21 November 1694 dan meninggal 30 Mai 1778. Ia seorang filosof dan pujangga (Literary) tersohor dan sangat berpengaruh dalam masa pencerahan (enlightenment) di Perancis pada abad ke-18 M. Berkenaan dengan profesi dan kepribadiannya, terungkap dalam kutipan: . . Voltaire manifested a assive intelect in histories, essays. reformist tracts, poety: and satiricae tales, Karya besarnya, di samping karya lain, adalah the Dictionaire Philosophique (1764). Lawrence T. Lorimer, at al. (ed), Grolier Academic Encyclopedia. vol. 19, (USA: Grolier International inc, 1991), hIm. 631-632; cf. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta; Kanisius, 1980), hIm. 57-58.

[11] Robin George Collingwood, The Idea of Histoiy, (London, New York: Oxford University Press, 1976), hIm. 1-2.

[12] Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah Dalam Islam, (Banda Aceh: Ar-Ruzz Khazanah Pustaka Indonesia, 2002), hIm. 28.

[13] Ibid. hlm 28

[14] Mazheruddin Siddiqi, Konsepsi Qur’an Tentang Sejarah, terj. Nur Rachmi et. El., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), Hlm. 1 dan 20.

[15] Effat Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Pustaka, 1986), hIm. 112- 113; Haidar Baqir, “Pengantar Filsafat Sejarah A1-Qur’an, Menurut Muthahhari”, dalam Murtadha Murhahhari, Pendekatan Filsafat Sejarah: Menguak Masa Depan Umat Manusia, terj. Afif Muharnmad,(Bandung: Pustaka Hidayah, cet. 11, 1995), hIm. 7.

[16]Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah Dalam Islam, (Banda Aceh: Ar-Ruzz Khazanah Pustaka Indonesia, 2002), hIm. 35

[17] Teuku Ibrahim Alfian, Metode dan Metodologi Sejarah, Makalah, t. t., him. 1-2. Begitu juga yang diurutkan oleh Nugroho Notosusanto. Yaitu; (1) heuristik, (2) kritik sumber; (3) interpretasi; dan (4). historigrafi. Nugroho Notosusanto, Hakikat Sejarah dan Model Sejarah, (Jakarta: Pusat Sejarab Angkatan Bersenjata, 1964), hIm. 22-29

[18] Trygve R. Tholfson, Historical Thinking, (New York; Harven and Row Publishers, 1967).

[19] Allan Nevins, The Gateway to History, (New York: Dubleday & Companylnc., edisi revisi baru, 1962), hIm. 347 & 353.

[20] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah.. hlm. 18.

[21] Berbicara tentang pendekatan, hingga akhir abad ke-19 M dibedakan antara
dua pendekatan yang dominan. Pertama, yang disebut dengan pendekatan nomotetik, adalah pendekatan yang hanya digunakan dalam ilmu alam. Pendekatan ini didasarkan pada hukum-hukum objektif dan universal. Kedua, pendekatan idiosinkratik, yaitu yang didasarkan pada keunikan masing-masing sejarah. Kecuali itu, sejak penghujung abad ke-19 M juga, Wallerstein menawarkan dan menganjurkan untuk didialogkan kedua pendekatan di atas. Lebih dari itu, ia menawarkan dan menyarankan untuk menggabungkan tinjauan dalam berbagai (multi) disiplin terkait. Sehingga dengan demikian, ia akan menjadi kajian yang komprehensif Immanuel Wallerstein, Lintas Batas Ilmu Sasial, terj. Oscar, (Yogyakarta: LKiS, 1997), hIm. XVIII-XJX

[22]Ralph Linton, The Study of Man, terj. Firman Syah, Antropologi Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, (bandung: Jemmars, 1984), hIm. 276.

[23] Istilah historiografi bermakna ganda, atau paling tidak dapat didefinisikan dalam dua hal. Pertama, historiografi bermakna penulisan sejarah sendiri. Dalam arti pertama ini, historiografi merupakan aktivitas dan proses rekonstruksi peristiwa kemanusiaan masa lalu; dan kalau dilihat kembali dalam metode sejarah kritis di belakang, ia merupakan langkah keempat dari metode sejarah knitis tersebut, yang dalam bahasa Belanda disebut dengan darstelluhg. Kedua, histoniografi yang bermakna sejarah (dan) penulisan sejarah. Dalarn anti kedua ini, historiografi berarti melakukan kajian terhadap karya-karya sejarah yang telah ada, semisal karya-karya sejarah Islam Indonesia, yang di sana ditemukan misalnya, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), karya Hamka; Islam di Indonesia, (Pustaka Jaya, 1969). karya Husein Djayadiningrat; dan seterusnya. Selanjutnya, historiografi masih memiliki makna ketiga, yaitu, sebagai suatu cabang ilmu sejarah yang khas, yang telah masuk dalam kurikulum Jurusan-Jurusan sejarah di Perguruan Tinggi. Taufik Abdullah, Nasionalisme & Sejarah, (Bandung: Satya Historika, 2001), hIm. 250. Yang terakhir disebutkan, yaitu dalam makna ketiga, telah banyak jenis dan cabangnya pula, misalnya ada yang disebut histoniografi Islam. yang memiliki obek kajian, serta memiliki kekhususan bentuk kajian pula.

[24] F.R Ankersmit, Refleksi Tentang Fillsafat Sejarah….. hlm 2-4

[25] Azhar Djohan, Suatu Kajian dasar Filsafat Sejaahr, (Banda Aceh: Unsyiah Press,1987), hIm. 10-11.

[26] Memilih atau mengangkat tema tertentu, dalam kajian tafsir dikenal dengan metode tematik. “Yang dimaksud dengan metode temanik ialah membahas ayatayat al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah diterapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosa kata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan runtas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilrniah, baik argumen itu berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional. Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran A1-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajan, 2000), hIm. 151.

[27] Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah Dalam Islam, (Banda Aceh: Ar-Ruzz Khazanah Pustaka Indonesia, 2002), hIm.41

[28] Ibid. hlm 41

[29] Kuntowijoyo, Pengantar ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), hIm. 191.

[30] Louis Gottschalk, Understanding History: A Primer of Historical Method, terj.NugrohoNotosusanto, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, cet. V 1986), hIm. 192.

[31] Kuntowijoyo, Pengantar ilmu ... hIm. 192.

[32] Zainab ai-Hudhairi, Filsafat Sejarah ... hlm. 4.

[33] Dudung Abdurrahman, “Knitik lbn Khaldun dalam Penulisan Sejarah”, dalam Bunga RarnpaiBahasa Sastra dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Fak. Adab lAIN Sunan Kalijaga, 1993), hIm. 243-244.

[34] Fawzia Barun, Malik Bin Nabi Sosiolog Muslim Masa Kini, terj. Munir A. Mum, (Bandung: Pustaka, 1998), hIm. 85.

[35] Istilah dialektis bermakna ilmu termtang hukum-hukum umum gerak dan
perkembangan alam, masyarakat dan ide. Bagi Khaldun, dialektika merupakan suatu kerangka pikiran yang utama dan bukan sekadar kebetulan. Zainab alHudhairi, Filsafat Sejarab ... hlm. 80.

[36] Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah Dalam Islam, (Banda Aceh: Ar-Ruzz Khazanah Pustaka Indonesia, 2002), hIm.81

[37]Ibid

[38] Determinisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu kausa atau berbagai kausa, dan semuanya itu tidak mungkin terjadi dalam bentuk yang berbeda, kecuali jika terjadi perbedaan di dalam kausa-kausanya.

[39] Zainab al-Hudhairi, Filsafat Sejarah ... hhn. 114.

[40] Zainab al-Hudhairi, Filsafar Sejarah .. hIm. 116-117.

[41] Karl Marx and Frederick Engels, The German Ideology, (New York: International Publisher, 1947), hIm. 12-14; Andi Muawiyah Ramli, Peta Pemikiran Karl Marx: materialisme dialektis dan meterialisme histories (Yogyakarta : LKIS, 2000). hlm. 133.

[42] Matangnya materialisme dialekris sebagai suatu sistem dalam filsafat, menurut Franz Magnis-Suseno, tidak terlepas dari usaha Friedrich Engels, sahabat Marx yang sangat setia. Ia telah membukukan pikiran-pikiran Marx dari berbagai tulisannya, hingga menjadi suatu sistem menyeluruh, yang hendak menerangkan; baik hukum-hukum alam maupun hukum perkembangan masyarakat Sistem ini pula yang oleh Lenin diintegrasikan ke dalam Marxisme-Lenisme. Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakanta: Kanisius, 1992), hIm. 164-165

[43] Andi Muawiyah Ramli, Peta pemikiran Karl Marx.. hlm. 110.

[44] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1981), hlm. 80.

[45] Andi Muawiyah Ramli, Peta Pemikiran hlm. 114.

[46] F.R.Angkersmit, Refleks: Tentang Filsafat Sejarah .. Hlm. 8-12.

[47] Nouruzzaman Shiddiqie, “Sejarah: Pisau Bedah Ilmu Keislaman” dalam Taufik Abdullah dan Rush Karim (ed), Metodologi Penelitian Agama: Sebuab Pe-ngantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hIm. 69.

[48] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, ( Bandung : Rosda Karya, 2008) hlm 146

[49] Ahmad Tafsir, Filsafat Imu, ( Bandung : Rosda Karya, 2007) hlm 103-105

0 komentar: