Jangan Lupa FOLLOW Blog ini Ya.....

Hukum Mempelajari Bahasa Arab

Hukum Mempelajari Bahasa Arab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bahasa arab itu termasuk bagian dari agama, sedangkan mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Quran dan As-Sunnah itu wajib. Tidaklah seseorang bisa memahami keduanya kecuali dengan bahasa arab. Dan tidaklah kewajiban itu sempurna kecuali dengannya (mempalajari bahasa arab), maka ia (mempelajari bahasa arab) menjadi wajib. Mempelajari bahasa arab, diantaranya ada yang fardhu ‘ain, dan adakalanya fardhu kifayah.” (Iqtidho, Ibnu Taimiyah 1/527 dikutip dari majalah Al-Furqon)
Selanjutnya Silahkan Klik di sini (WAJIB Isi Komentar!!!!)- Hukum Mempelajari Bahasa Arab

Analisis Deskriptif Mengenai Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Sina

Disusun Oleh Muhammad Nurdin Al-Aziz. M.Ag (Saeutik Deui can wisuda... heuheu)


Analisis Deskriptif Mengenai Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Sina
A. Teks Arab Dalam Kitab Ibnu Sina
عَرَضَ اِبْنُ سِيْنَا فىِ كِتَابِ السِّيَاسَةِ لِوَاْجِبِ الرَّجُلِ نَحْوَ وَلِدِهِ، فَبَسَطَ أَحْوَالَ تَعْلِيْمِهِ وَتَأْدِيْبِهِ بِكَلاَمٍ يَدُلُّ عَلىَ نَفَاذِ الْفِكْرِ وَصِدْقِ النَّظْرِ، مِمَّا هُوَ جَدِيْرٌ بِمَقَام فَيْلُسُوْفِ اْلإِسْلاَمِ الشَّيْخُ الَّرئِيْسُ اْبنُ سِيْنَا

وَآرَاؤُهُ تَدُلُّ عَلىَ حُرِّيَةٍ شَدِيْدَةٍ فىِ التَّفْكِيْرِ ، عَلىَ الْعَكْسِ مِنْ ابْنِ مَسْكَوَيْهِ الَّذِى تَقيَّدَ بِآرَاءِ أَفَلاَطُوْنَ وَأَرِسْطُو، وَأَرَدَ اَنْ يُطَبِّقَهَا عَلىَ الْبِيْئَةِ الإِسْلاَمِيَةِ، فَخَرَجَتْ لِذَلِكَ مُغَايِرَةٌ لِطَبِيْعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ. أَمَّا ابْنُ سِيْنَا فَيَنْظُرُ إِلىَ الْبِيْئَةِ الإِسْلاَمِيَةِ ، وَيَتَحَرَّى الأَسَالِيْبَ المُلاَئِمَةَ لَهَا فىِ التَّعْلِيْمِ وَالتَّهْذِيْبِ ، بِمَا يَتَّفِقُ مَعَ الْعَقْلِ السَلِمِ.

إِذاَ فَطِمَ الصَّبِىُّ عَنِ الرَّضَاعِ بُدِئَ بِتَأدِبِيْهِ وَرِياَضَةِ أَخْلاَقِهِ قَبْلَ أَنْ تَهْجَمَ عَلَيْهِ الأَخْلاَقُ الَّلئِيْمَةِ، فَإِنَّ الصَّبِيَّ تَتَبَادَرُ إِلَيْهِ مُسَاوِئُ الأَخْلاَقِ ، فَمَا تُمْكِنُ مِنْهُ مِنْ ذَلِكَ غَلْبُ عَلَيْهِ فَلَمْ يَسْتَطِعْ لَهُ مُفَارِقُهُ هَذِهِ هِىَ نَظَرِيَةٌ تَكْوِيْنِ الْعَادَةِ وَصُعُوْبَةِ الإِقْلاَعِ عَنْهَا، وَأَغْلَبُ اْلمُسْلِمِيْنَ عَلىَ هَذَا الرَّأِى ، وِلَهُمْ فىِ ذَلِكَ حِكَمُ مَأْثُورَةٌ مشهورةٌ مِثْلُ : (( اَلتَّعَلُّمُ فىِ الصِّغَرِ كاَلنَّقْشِ عَلىَ الْحَجَرِ)) إِلىَ غَيْرِ ذَلِكَ.

B. Kosa Kata (المفردات[1])

Kosa Kata (المفردات)

Artinya

عَرَضَ[2]

Memperlihatkan, mempresentasikan, mendemonstrasikan, menyajikan

بَسَطَ[3]

Membeberkan, meluaskan, menyebarkan, meratakan

النَّظْر[4]

Sesame, sepadan

حُرِّيَة[5]

Kemerdekaan, kebebasan

رِياَضَة[6]

Olahraga, matematika, pendidikan akhlak

اسْتَطع يَسْتَطِع[7]

Dapat, mampu atas

الْعَادَةِ[8]

Adapt, kebiasaan, sebagaimana biasanya, selalu

C. Terjemah Teks Dalam Kitab Ibnu Sina

Ibnu Sina memaparkan dalam kitab siyasahnya tentang kewajiban seseorang terhadap anaknya, dan menjelaskan hal-hal tentang pengajaran dan pendidikan anak dengan perkataan yang menunjukan terhadap pemikiran yang bebas dan pandangan yang benar dari apa yang pantas menurut filosof Islam Ibnu Sina.

Pendapat Ibnu Sina yang mengarah kepada kebebasan yang luar bisa atau ekstrim dalam berpikir berlawanan dengan Ibnu Maskawih yang terikat atau mengikuti pemikiran Plato dan Aristoteles dan dia ingin menerapkanya kepada lingkungan yang islami maka oleh karena itu keluarlah sesuatu yang berlainan dengan watak kaum muslimin. Adapun Ibnu Sina memandang dan memilih lingkungan yang Islami dengan menggunakan metode yang pantas dalam pengajaran dan pendidikan sesuai dengan akal sehat.

Apabila seorang anak berhenti menyusui maka dimulai dengan mendidik dan melatih akhlaknya sebelum terancam oleh akhlak-akhlak yang tercela, karena anak cepat terpengaruh oleh akhlak-akhlak yang jelek, dan tidak mungkin anak bisa mengatasinnya, dan tidak mampu memisahkanya. Ini adalah teori pembentukan karakter dan sulitnya melepaskan diri dari akhlak yang buruk dan sebagian muslim mengikutinya. Dan mereka dalam hal ini mempunyai kata mutiara yang terkenal “Belajar di waktu kecil seperti mengukir di atas batu” dan sebagainya.

D. Tafsir Teks Dalam Kitab Ibnu Sina

D.1. Pengertian Pendidikan Akhlak

Pendidikan akhlak merupakan dua kata yang memiliki satu arti, yakni berasal dari kata pendidikan dan akhlak. Untuk mendefinisikan pendidikan akhlak, terlebih dahulu diuraikan mengenai istilah pendidikan dan akhak. Istilah pendidikan, secara bahasa dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar didik, dan diberi awalan men, menjadi mendidik, yang artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran). Pendidikan sebagai kata benda berarti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.[9]

Istilah pendidikan dalam bahasa Inggris mengacu pada kata education, tarbiyah dalam bahasa Arab. Istilah pendidikan yang merupakan terjemahan dari education berasal dari bahasa Latin educetee, yang berarti memasukkan sesuatu.[10] Ada pula yang menyebutkan, bahwa istilah pendidikan berasal dari kata Latin educare yang secara harfiah berarti “menarik ke luar dan”, menghasilkan, mengembangkan kepribadian peserta didik, sehingga pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah aksi membawa seorang pais (anak/peserta didik) keluar dari kondisi tidak merdeka, tidak dewasa, dan tergantung, ke suatu situasi merdeka, dewasa, dapat menentukan diri sendiri, dan bertanggung jawab. Sementara dalam bahasa Yunani adalah paedagogie. Paedagogie, asal katanya adalah pais, yang artinya anak dan again yang artinya membimbing.[11] Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi peserta didik. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengn educare, yakni : mernbangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi peserta didik.

Dalam bahasa Arab, ada beberapa istilah yang biasa digunakan dalam mengartikan pendidikan, yakni ta’lim, tarbiyah, dan ta’adib.[12] Hal senada dengan yang diungkapkan oleh Jusuf Arnir Feisal yang dikutip Sama’un Bakry, bahwa dalam tradis Islam terdapat tiga istiiah yang sering digunakan untuk menyebut pendidikan (Islam), yakni تعليم , تربية dan تاديب Sebenarnya, istilah yang dianggap paling tepat ialah istilah ta’dib sebagai kompromi dari istilah tarbiyah (yang dianggap terlalu luas) dan istilah ta’lim (yang dianggap terlalu sempit).

Ada pula yang mendefinisikan sebagai bimbingan atau pertolongan yang diberiikan dengan sengaja, oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. [13]

Secara terminilogis terdapat beberapa pandangan mengenai pendidikan berdasarkan tinjauannya masing-masing. Ada yang melihat dari sisi fungsi,[14] sisi cakupannya maupun dari sisi aspek serta ruang lingkup yang terkandung dalam pendidikan.[15]

Namun secara umum, pendidikan ialah pengembangan pribadi dalam semua aspeknya. Pengembangan pribadi mencakup pendidikan oleh diri sendiri, oleh lingkungan atau oleh orang lain. Sedangkan seluruh aspek mencakup jasmani/psikomotor, akal/kognitif, dan hati/afektif .[16]

Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalin diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[17]

Tampak, bahwa para ahil pun belum sepakat tentang definisi pendidikan. Kesulitan ini diakibatkan oleh dua hal, yakni banyaknya jenis kegiatan yang disebut sebagal kegiatan pendidikan dan luasnya aspek yang dibina oleh pendidikan.[18]

Dari beberapa pengertian di atas, pengertian pendidikan yang lebih tepat menurut hemat penulis ialah yang dinyatakan oleh Ahmad Tafsir, yakni bahwa pendidikan adalah pengembangan pribadi manusia dalam semua aspeknya. Pengembangan pribadi mencakup pendidikan oleh diri sendini, oleh lingkungan atau oleh orang lain. Sedangkan seluruh aspek mencakup semua potensi yang ada dalarn diri manusia ke arah yang lebih baik.

lstilah akhlak, secara etimologis berasal dari bahasa Arab jama’ dan huluq (huluqun), yang menurut lughat diartikan budi perkerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at. HuIuq (bentuk jamak dari hulqun) merupakan gambaran sifat batin manusia, akhlak merupakan gambaran bentuk lahir manusia, seperti raut wajah dan bodi.

Dalam bahasa Yunani pengertian huluq ini dipakai kata ethicos atau ethos, artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi ethika.13

Secara istilah para ahli berbeda pendapat tentang definisi akhlak tergantung cara pandang masing-masing. Zakiyah Darajat mengemukakan bahwa akhlak ialah kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, fikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan yang menyatu, membentuk satu kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup kesehanian. Dan kelakuan itu lahirlah perasaan moral yang terdapat dalam diri manusia sebagai fitrah, sehingga mampu membedakan makna yang jahat, mana yang bermanfaat dan mana -yang tidak berguna, mana yang cantik dan mana yang buruk.[19] Sementara lbn Maskawih (w.1030 M) mendefinisikan akhlak sebagai berikut:

Suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang berbuat dengan mudah, tanpa melalui proses pemikiran atau pertimbangan (kebiasaan sehari-hari).[20]
Sementara Al-Ghazali (w.1111 M) mendefinisikan akhlak sebagai berikut: yaitu sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[21]

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, bahwa suatu perbuatan dikategorikan akhlak apablia perbuatan itu memiliki ciri berikut Pertama, perbuatan itu telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang dan telah menjadi bagian dari kepribadian. Kedua, perbuatan itu dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ketiga, perbuatan itu dikerjakan tanpa ada paksaan dan tekanan dari luar. Keempat, perbuatan itu diakukan dengan sungguh-sungguh. Kelima, perbuatan akhlak (khususnya akhak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas sernata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendaptakan sesuatu pujian.[22]

Secara sederhana dapat didefinisikan bahwa akhlak ialah perilaku seharihari yang dicerminkan dalam ucapan, sikap dan perbuatan.[23] Bentuknya yang nyata ialah segala jenis perilaku yang dilakukan manusia dalam hidupnya. Dan ini merupakan cakupan atau ruang lingkup akhlak. Perilaku yang masuk dalam kategori akhak, merupakan manifestasi dari keadaan yang telah meresap pada jiwa dan menjadi kepnibadian.

Akhlak merupakan tahap ketiga dalam beragama, setelah pertama, menyatakan keimanan dengan mengucapkan syahadat, tahap kedua, melakukan ibadah, dan tahap ketiga sebagai buah dari keimanan dan ibadah adalah akhlak. OIeh karenanya, akhak juga merupakan fungsionalisasi agama secara konkret. Artinya, religiusitas seseorang tidak berarti bila tidak dibuktikan dengan berakhlak (yang baik).[24]

Jadi pendidikan akhlak ialah pendidikan perilaku, suatu proses mendidik, memelihara, membentuk, dan memberikan latihan mengenai akhlak seseorang. Dalam pengertian yang sederhana, menurut hemat penulis, pendidikan akhlak diartikan sebagai proses pembelajaran akhak. Sebagai mata pelajaran di Madrasah Aliyah, pendidikan akhak disatukan dengan akidah, sehingga istilahnya menjadi akidah akhak. Akidah akhlak sebagal mata pelajaran ialah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati dan mengimani Allah dan merealisasikannya dalam perilaku Akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan pengalaman dan pembiasaan.[25]

D.2. Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Sina

D.2.1. Biografi Ibnu Sina.

Nama penuh beliau ialah Abu Ali al-Husain Ibn Abdullah Ibnu Sina, yang lahir pada tahun 980 M / 370 H di sebuah kampung bernama Afsahan, di daerah Kahrmisan Bukhara, yang merupakan seorang anak yang bertuah pada masa kecilnya kerana dapat hidup dalam sebuah keluarga yang kaya raya, di Bukharalah juga beliau menumpukan dalam bidang bahasa dan sastera dan hidupnya diabadikan dalam dunia ilmu pengetahuan.

sejak kecil mempelajari ilmu, seperti : Filsafah, geometri, ilmu hisab, feqih, logik, perubatan dll. Beliau langsung dibimbing oleh bapaknya sendiri, yang bernama Abdullah.dan lain-lain guru yang dipilih oleh keluarganya sendiri. Bapanya seorang yang ada kecenderungan Isma’iliyyah dari Mesir, juga peminat falsafah kumpulan Ikhwan al-Safa. Dari perbincangan-perbincangan akademik yang keluarga adakan saban hari Ibnu sina mula beri perhatian terhadap falsafah dan segala bidangnya. Dari mereka, ia melaporkan “ I was well as my brother, heard the account of the soul and the intellect in the special manner in which they speak about it and know it. Sometimes they used to discuss this among themselves while I was listening to them and understanding what they were saying, but my soul would not accept it, and so they began appeling to me to do it ( meant to accept the Ismaili doctrines ). Kemudian bermula dari itu, tetamu-tetamu dari Egypt aliran Ismailiyyah yang datang ke Bukhara, telah dijemput tinggal dengan keluarganya. Ibnu Sina mengambil kesempatan itu untuk mempelajari beberapa subjek penting seperti “ philosophy, logic, greek and Indian mathematics”. Tetapi tokoh yang banyak berjasa pada Ibnu Sina ialah seorang sarjana falsafah Abu ‘ abdullah al-Natali.

Selepas mencapai kedudukan yang tinggi dalam bidang sastera dan bahasa sewaktu berusia dua puluh tahu, beliau mulai berminat dengan ilmu-ilmu akal, kemudian memulakan pengajian dalam bidang tersebut dengan mempelajari logik, geometri dan buku Almagest daripada Abu Abdullah al-Natali, seorang rakan bapanya.

Dalam bidang perubatan, Ibnu Sina telah mencapai satu tahap pencapaian yang amat tinggi. Walau bagaimanapun, beliau tidak menjadikan sebagai kerjaya untuk mencari rezeki. Sebaliknya, beliau mengajar ilmu tersebut kepada para doktor bagi menambahkan lagi pengetahuan mereka dalam bidang tersebut, pada suatu waktu, apabila beliau berjaya menyembuhkan penyakit yang dihadapi oleh Putera Nuh Ibn Nas al-Samani yang gagal diubati oleh para doktor lain.

Ibnu Sina telah mendapat penghormatan yang besar daripada putera tersebut. Antara lain, beliau telah dibenarkan untuk menggunakan perpustakaan istana yang banyak mempunyai buku-buku yang sukar didapati. Melalui perpustakaan tersebut, beliau kemudiannya memperoleh ilmu yang banyak.

Kemasyhuran dan kepakaran Ibnu Sina dalam ilmu perubatan ini kemudiannya telah melayakkan beliau untuk diberi gelaran Mahaguru Pertama (al-Syaikh al-Ra’is), beliau percaya kepada ketahanan tubuh itu sendiri dalam menolak penyakit, ubat hanya boleh merangsang ketahanan itu. Dengan demikian, beliau berpendapat, tanpa ketahanan yang cukup dalam tubuh, ubat adalah tidak berfaedah.

D.2.2. Karya Penulisan Ibnu Sina.

Menghasilkan kurang lebih 276 tulisan dan buku, komentar, risalah dalam berbagai bidang, namun yang terkenal dengan dua buah karyanya ; “ Qanun fi’l-Tibb’ (Undang-undang dalam perobatan) dan al-Shifa’ ( penyembuh)

Tidak dapat dinafikan bahwa karya Ibnu Sina yang membincangkan panjang lebar tentang filsafat pengetahuan dalam al-syifa. Buku ini dianggap buku yang terpenting dalam filsafat pengetahuan di timur dan di barat. Malah buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin dengan tajuk Sufficientioa yang merupakan “ The Longest encyclopedia of knowlwdge. Ever written by one man ( nasr, 1969).

Ibnu Sina menggunakan dua cara dalam menulis kitab-kitabnya, ada kitab yang ditulisnya untuk orang awam atau sebagian besar penuntut hikmat, ada kitab orang yang khusus atau untuk dirinya dan orang yang dekat kepadanya. Maknanya beliau tidaklah menyalahi filsafat mashsaiyah peripatetic) yang dikenal orang. Inilah yang kita namakan mazhab yang terkenal. Dalam kitab-kitab lain, Ibnu Sina menyatakan terus terang bahwa ia memasukkan filsafat dalam kitab sebagaimana sebenar tampa segan-segan menentang filsafat yang terkenal. Beliau berpesan agar hikmat ini disembunyikan kepada orang banyak Inilah yang disebut mazhab tertutup. Menyembunyikan mazhab soal biasa pada filsuf-filsuf dahulu kala ( Madkour, 1934 ). Socrotes pernah berkata : “ Hikmat adalah benda suci, tidak rusak dan kotor. Jadi tidaklah pantas menyimpanya kecuali dalam jiwa yang hidup, kita harus membersihkannya dari pada kulit yang mati, dan menjaganya daripada hati yang membangkang” ( Ibn Abi Usaibah, 1965)

Sebelum Ibnu Sina membagikan hikmat itu, ditentukannya tujuan, yaitu mencari hakikat sesuatu sesuai dengan kesanggupan manusia. Kemudian dibagikan hikmat itu mengikut benda-benda yang wujud. Setengah benda itu wujudnya tidak bergantung pada perbuatan dan kemauan kita. Contoh bagian pertama adalah benda-benda di bumi, di langit, bentuk-bentuk geometri, bilangan dan zat Tuhan. Semua benda ini tertakluk wujudnya kepada perbuatan dan kemauan kita. Tetapi susunsn politik, tingkah laku akhlak dan menciptanya. Kita juga boleh meninggalkannya, begitu juga dengan berbagai seni dan pertukangan. Oleh itu mengetahui perkara-perkara bagian pertama, yaitu yang tidak tertakluk wujudnya pada perbuatan dan kemauan kita disebut Filsafat Teoritikal, manakala bagian kedua disebut Filsafat praktikal (Morewedge, 1973 : 145 )

Seperti juga Aristotle, filsafat teoritikal bertujuan menyempurnakan jiwa (nafs) dengan mengetahui, maknanya “ berlakunya kepercayaan yang diyakini tentang hal-hal wujud” (Ibnu Sina, 1953), tujuaan filsafat pratikal pula bukan sekadar menyempurnakan jiwa dengan pengetahuan tapi menyesesuaikan dengan kehendak pengetahuan itu. Dalam akhlak, misalnya, tidaklah cukup kita mengetahui apakah kebaikan itu, kemudian sunyi, tetapi kita harus menyesesuaikan dengan kita ketahui. Oleh itu tujuan filsafat teoritikal adalah kebenaran sedangkan tujuan filsafat pratikal adalah kebaikan.

Kata penilaian tidak pernah digunakan oleh Ibnu Sina , tetapi apakah sebenarnya penilaian itu ?. Ada dua fungsi yang menonjol dalam penilaian ini. Pertama sebagai suatu peneguhan terhadap suatu tingkah laku yang ingin dikekalkan. Misalnya kalau seorang anak-anak belajar bahasa, maka apabila jawabanya betul haruslah diberi ganjaran, seperti nilai yang tinggi, atau boleh sekedar puji-pujian saja. Pokoknya anak-anak itu akan merasa senang setelah memberi jawaban itu dan seterusnya akan berbuat demikian pada masa akan datang dalam suasana yang sama.

Sebagai alat penyaring calon yang ingin mendapat tempat yang tertentu dalam ujian, misalnya. Dengan kata lain penilaian digunakan sebagai alat untuk menentukan sama da tujuan pendidikan dicapai atau tidak.Kalaukita gunakan ujian memandu kereta, maka kita menilai sama ada pengetahuan umumnya akan aturan-aturan lalu lintas telah dihafal dan segala amalan memandu mobil telah dapat dilaksanakan atau belum. Kalau ia lulus semuanya, teori dan praktik, mak ia diberi sim memandu mobil jenis tertentu, misalnya jenis D.

Dalam karangan-karangan Ibnu Sina adakah kita menemui beliau menggunakan kata-kata atau konsep-konsep yang mengandung kedua maksud di atas itu ? jawabannya “ ya” ada, walaupun tidak persis seperti yang digambarkan itu.

Tentang penilaian sebagai peneguhan, dalam karangan-karangan yang bersangkutan dengan filsafat pratikal, beliau selalu bicara tentang kebahagian sama ada di dunia atau di akhirat, kebahagian berlaku pada peringkat diri ( akhlak, keluaraga, masyarakat ataupun umat manusia seluruhnya (Ilmu Nabi) dan juga selepas jiwa berpisah daripada badan pada hari ma’ad. Dengan kata lain ada peringkat-pringkat kebahagian itu, yang bermula pada jenjang pertama mendorong ke jenjang kedua, selanjutnya ke jenjang berikutnya dan begitulah seterusnya sehingga puncak kebahagiaan abadi yang di tujunya ( Ibnu Sina,1908 : 150 ). Sudah tentu tentu peringkat-peringkat yang di gambarkan disini merupakan peneguhan untuk mendorong seseorang pengejar kepada peringkat selanjutnya. Dalam pendidikan modernpun penilaian sebagai peneguhan berfungsi serupa itu, misalnya kelulusan pada sekolah dasar mendorong untuk melanjutkan pelajaran ke sekolah menengah dan lulus di sekolah menengah mendorong untuk melanjutkan pelajaran ke universitasdan begitulah seterusnya.

Sebagai alat untuk menyaring, penilaian juga sangat berguna. Ibnu Sina juga menggunakan kriteria ini untuk membagikan ilmu kepada ilmu terbuka ( masyhur) untuk orang bayak, dan ilmu tertutup (mastur) untuk orang-arang Khususseperti sebagian karangannya yang terakhir yang berkenaan filsafat Isragiyah (Illumination phiosophy). Penggunaan penilaian mengikut pengertian iniu banyak didapat dalam bukunya berjudul al-siyasah terutanma berkenaan cara membimbing kanak-kanak. Tentang cara memilih pekerjaan pula Ibnu Sina berkata bahwa sekadar mengikut kemauan si anak, tetapi haruslah sesuai dengan bakat dan tabiatnya ( Ibnu Sina, 911), karena perbedaan manusia dalam memilih ilmu dan pekerjaan : “ ada sebab-sebab yang kabur dan faktor yang tersembunyi yang sukar difahami oleh manusia dan susah diukur dan dimengerti (Ibnu Sina, 1911 : 14 ).

Barangkali yang disebut oleh Ibnu Sina yaitu sebab-sebab yang kabur dan faktor-faktor yang tersembunyi boleh dikembalikan kepada faktor-faktor psikologi, yang sekarang terkenal dengan nama bakat-bakat (apptitude) dan kebolehan (abilities) dengan istilah yang digunakan oleh psikologi modern. Disinisi difahami bahwa Ibnu sina memberi perhatian pada faktor-faktor psikologi, seperti bakat dan kebolehan, sebagai alat yang sangat berguna.

Ibnu Sina membagikan filsafat teoritikal kepada tiga bagian ilmu mengikut tingkat keikutsertaan judul-judul dengan materi dan gerekan atau kebebasannya daripada gerekan dan materi itu. imu itu adalah ;

1. Ilmu tabii, yang dipanggilnya yang paling bawah.

2. Ilmu matematik, yang dipanggilnya ilmu pertengahan.

3. Ilmu ketuhanan, yang dipanggilnya ilmu paling tinggi, yaitu mengikut darjat kebebasan dari pada materi ( Ibnu sina 1908)

Pembagian serupa ini juga kita dapati pada Aristotle, Tetapi Ibnu Sina memperluasnya dengan menambahkan berbagai cabang bagi setiap ilmu tersebut, selain yang kita saksikan pada Aristotle, Ibnu Sina misalnya, menambahkan ilmu-ilmu berikut kepada ilmu tabii : perobatan , astrologi, ilmu firasat, ilmu sihir (tilsam) ilmu tafsir mimpi., ilmu kimia. Aristotle hanya membagikan kepada materi dan bentuk, gerekan dan perubahan, wujud dan kehancuran, tumbuh-tumbuhan dan haiwan dan jiwa. Ilmu matematik pula ditambahkannya cabang-cabang ilmu berikut : ruang, bayang begerak, memikul berat, timbangan, pandangan dan cermin, dan memindah air (Ibnu Sina, 1908 : 110-111). Terhadap ilmu ketuhanan (ilahiyat) ditambahkannya cabang-cabang berikut : cara turunnya wahyu, jauhar rohani yang membawa wahyu, cara wahyu turun sehingga dapat didengar dan dilihat, mukjizat, khabar ghaib, ilham bagi orang-orang takwa yang menyerupai wahyu, dan keramat yang menyerupai wahyu.

Juga dibicarekan ialah roh amin dan roh quds. Roh amin termasuk dalam peringkat kedua jauhar rohani, sedangkan roh quds termasuk dalam dalam jauhar rohani peringkat pertama, yakni dari peringkat Malaikat ( Ibnu Sina, 1908 :114 ).

Filsafat pratikal juga terbagi kepada tiga bagian ilmu yaitu :

1. Ilmu akhlak, yang mengkaji tentang cara-cara pengurusan tingkah laku seseorang manusia atau kesucian dirinya.

2. Ilmu pengurusan rumah tangga, yakmi mengkaji tentang hubungan antara lelaki dan isterinya, ank-anaknya dan pembantu-pembantunya, masalah pe-ngaturan rezeki dan kehidupan keluarga.

3. Ilmu politik, yang mengkaji tentang hubungan-hubungan desa dalam
suatu kota, hubungan di antara berbagai bandar, dan hubungan berbagai
negara, politik, kepimpinan dan masyrakat yang luhur dan hina.

Dan antara hasil penulisan beliau lagi termasuklah kumpulah risalah yang berjudul Tis Rasa’il yang mengandung berbagai-bagai judul dalam berbagai-bagai bidang ilmu . Rasa’il Ibnu Sina yang menganduni hasil sastera kreatif beliau, dan risalah-risalah lain lagi tentang berbagai-bagai bidang ilmu, termasuklah ilmu logik antara pendapat beliau termasuklah ilmu logik, sebagai pengantar bagi filsafat, hanya diperlukan oleh mereka yang tidak mempunyai kebolehan berfikir dengan betul secara semula ajdi, sebaliknya bagi orang-orang yang memiliki kemampuan semula jadi tersebut, ilmu logik tidak diperlukan. Bandingannya ialah seperti ilmu tatabahasa yang tidak diperlukan oleh individu yang secara semula jadi, bijak berbahasa.

Berkenaan matematika, Ibnu Sina berpendapat, ilmu tersebut boleh digunakan untuk mengenal Tuhan, Demikian juga ahli-ahli filsafat Yunani, beliau mempercayai bahwa setiap tubuh terdiri daripada empat unsur yaitu : tanah, air, api dan angin, walau bagaimanapun, beliau berpendapat campuran unsur-unsur ini yang berupa lembab, panas, sejuk, =senatiasa tergantung pada unsure yang lain dalam alam nyata.

D.2.3. Pendidikan Menurut Ibnu Sina

Menurut Ibnu Sina; Proses pendidikan dimulai dengan peranan kedua orang tua sebagai guru pertama, dan berakhir dengan peranan lain di luar diri manusia, di dalam menerangi jiwa, yang membuatnya mampu untuk melihat Tuhan (experience the vision of God), dan memenuhi tujuan akhir pendidikan yang tiada lain adalah eksistensi (wujud) manusia itu sendiri.[26] Pandangan filosofis pendidikan Ibnu Sina inilah yang membuat Shihab al Din Suhrawardi yang digelar sebagai Shaykh al ishraaq (Master of Illumination) menekankan perlu adanya Pendidikan Komprehenship manusia seutuhnya (thwe education of the whole man) untuk dijadikan tujuan pendidikan secara filosofis.

Pendidikan bahkan bermula sejak memilih pasangan, yang kelak karakter intelektual dan moralnya akan mempengaruhi sang anak. Disiplin harus ditanamkan sejak masa penyusuan, dan sebenarnya ini merupakan langkah awal dari pembinaan prilaku dan moral serta ta’dib menurut istilah yang dipakai oleh Syed Mohammad Al Naquib Al Attas.[27]

Ibnu Sina di dalam bukunya Al-Qanun (Canon) juga menekankan pentingnya setiap anak diberikan perhatian secara individual dan hendaknya pendidik tidak memberi jalan untuk timbulnya amarah atau perasaan takut, kemurungan, kesedihan, dan patah semangat di pihak peserta didik. Oleh karena itu pengendalian emosi dan disiplin diri harus dan perlu ditanamkan, agar pikiran peserta didik terbiasa dengan emosi yang sifatnya positif, dan dengan cara demikian sikap, prilaku dan kebiasaannya yang baik-baik dapat dikembangkan sedini mungkin. Hal yang demikian akan berdampak dan bermanfaat langsung pada jasmani sang objek didik (anak). Di sinilah kita melihat bagaimana faktor “pembiasaan” diberi perhatian penuh sedini mungkin oleh Ibnu Sina.

Peserta didik juga harus memiliki seorang guru yang langsung dapat membinanya dan membentuk sikap dan prilakunya yang positif.[28] Baik di sekolah maupun di rumah, harus saling melengkapi satu sama lain dalam pencapaian tujuan pendidikan sejak awal, yakni untuk memperkuat keimanan, membina akhlak dan prilaku terpuji dan kesehatan serta membentuk fondasi dasar untuk berfikir yang betul (Correct thinking).

Ibnu Sina juga menekankan pentingnya persaingan dan kompetisi sehat, sportifitas dan motifasi serta semangat terhadap peserta didik. Kesemuanya dimaksud untuk membina karakter dan memperkuat tumbuhnya kebajikan dan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan.[29]

Berbicara tentang sikap guru, Ibnu Sina menghendaki adanya sikap kesederhanaan (moderation) guru menghadapi peserta didiknya; tidak terlalu keras dan tidak juga terlalu gampangan (neither excessively lenient nor harsh). Pemilihan bidang pengetahuan yang diminati oleh peserta didik harus mendapat perhatian penuh. Demikian; motto berakhlak mulia, beradab sehat, berpengetahuan luas, dan berfikiran bebas menjadi fokus penekanan Ibnu Sina dalam Pendidikan.

D.2.4. 4. Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Sina.

Bilalah proses pendidikan bermula ? Ibnu Sina menegaskan Pendidikan selepas saja kanak kanak itu tamat penyusuannya ( al-rodo’at), dan tahap awal ini pendidikan bermula dengan akhlak. Ibnu Sina menggunakan istilah Ta’dib bagi menjelaskan kepentingan pendidikan akhlak yang bersifat definsif yaitu sebelum anak-anak ini berhadapan dengan tingkahlaku yang tidak baik dan kecenderungan yang buruk ( al-akhlak al-laimah ). Ini sudah tentu dalam kontek pergaulan dengan rekan sebaya dan lain-lain. Alasan Ibnu Sina dalam kontek ini ialah biasanya anak-anak itu cepat boleh terpengaruh dengan bentuk-bentuk akhlak yang buruk atau tabiat yang tidak baik. Mereka juga katanya belum tahu tentang nilai dan perbedaan baik-buruk dan belum tahu untuk mengelak darinya. Justeru itu adalah lebih berfaedah kepada mereka sendiri supaya senantiasa berjauhan dari bentuk-bentuk berkenaan. Inilah pendekatan definsif yang ditekankan oleh Ibnu Sina pada tahap awal ini.

Dalam akhlak, Ibnu Sina berpendapat bahwa siapa yang akan membimbing orang lain, haruslah terlebih dahulu dapat membimbing dirinya sendiri, karena dirinya itulah yang terdekat kepadanya, paling mulia dan paling perlu mendapat perhatian. Malah mengendalikan diri itu lebih susah dari mana-mana bimbingan. Sehingga siapa yang sanggup mengendalikan dirinya dengan sebaik-baiknya, tidak akan susah mengatur suatu bandar, malah suatu negara ( al-Ardh, 1976 : 337 ). Keluhuran ( fadhilah) dan keburukan (razila ),itu banyak, tetapi itu dapat di bagikan, mengikut kekuatan jiwa yang tiga, yaitu syahwat, ghadhab ( marah ) dan akal. Itulah tiga kehinaan ( razilah) . Tetapi di atas tiga macam keluruhan ini, terdapat keluruhan yang disebut keadilan, yaitu yang menghimpunkan segala macam keluruhan itu, ketika melengkapkan setiap kumpulan itu dengan cabang-cabngnya sebagai unsur yang membentuknya (Ibnu Sina, 1908 : 152). Misalnya suci diri (iffah), pemurah (Sakha’)danberpuas diri ( qana’ah), yang termasuk dalam keluruhan syahwat. Manakala keluruhan ghadab adalah keberanian (syaja’ah), kesabaran (sabr), penyayang (hilm) dan lapang dada ( rahh al baa). Keluruhan akal ( al-Quwah al- Natiqah ) adalah bijaksana ( hikmat ) bay an, cerdik ( fathonah ), keaslian (asalah al ray ) , tegas ( hazm ), kebenaran (sidq), setia (wafa), pengasih (rahmah), malu (haya), keras kemahuan (izamul himmah), memilhara janji (husnul asd walmu hafazah) dan merendah diri (tawadu’). Dan induk segala keluruhan ini adalah keadilan adalah ) yang mengikut Ibnu Sina adalah kesimbangan semua keluruhan itu sehingga yang satu tidak melebihi orang lain. Oleh itu keadilan sebenarnya tidak lain daripada jiwa yang mengetengahkan berbagai akhlak yang bertentangan, syahwat yang berlebihan dan berkurangan, ghadab dan tiada ghadab sama sekali, dan menjurus hidup dan tidak mengurus sama sekali ( Ibnu Sina, 1908 : 149 ). Manakala kebaikan daripada semua itu disebut kehinaan (razilah ) dan bentuknya bermacam-macam seperti busuk hati, rendah cita-cita, tidak menepati janji, kasar cakap, menipu dan takabur.( Ibnu Sina,1908 : 145 )

Bagaimana kita untuk mencapai ta’dib yang berkesan ? Ibnu Sina menerangkan beberapa pendekatan pratikal untuk digunakan . Antaranya ialah dengan menjadikan mereka merasa takut sambil menggalakkan anak itu belajar, memberi semangat, marah, dipuji pada hal-hal yang sesuai. Jika perlu kekerasan . Tujuan pukulan hanyalah untuk merasakan sedikit kesakitan kepada mereka justeru untuk memberikan pengajaran.

E. KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas dapat di simpulkan bahwa tujuan utama pendidikan menurut Ibnu Sina ialah memanusiakan manusia maksudnya manusia sentiasa ada potensi untuk membuat kemajuan bagi diri sendiri baik kalau dihalusi kepasa aspek-aspek yang lebih detil, obyektif pendidikan bermatlamatkan untuk mencapai dan memajukan pelbagai aktifiti, sekolah atau universitas kita: Persepsi, memori, imaginasi, rasional kemauan atau rohani, intelektual, walaupun Ibnu Sina kurang memberikan tumpuan dalam kemajuan jasmani justru perhatiannya lebih dalam perbagai rasional, memori, kemahiran, intelektual, persepsi, rohani dan lain imaginasi

Idea-idea Ibnu Sina dalam pendidikan dapat dikatagorikan sebagai berikut:

1. Tujuan-tujuan (aims) dalam pendidikan .

2. Pengetahuan ( knowledge) dalam pendidikan.

3. Perlaksanaan ( practice ) termasuklah disini kaedah ( methology ), institusi, pembiayaan dan hubungan dengan aspek-aspek lain dalam kehidupan politik, ekonomi dan lain-lain.

4. Penilaian yaitu kriteria yang digunakan untuk mengetahui tercapai atau tidak tujuan-tujuan pendidikan.

Ada empat kawasan utama dalam pendidikan menurut Ibnu Sina yang
mempunyai pengaruh besar ialah :

1. Filsafat pendidioan yang berkaitan dengan tujuan dan matlamat
pendidikan.

2. Teori-teori pengetahuan (epistemology)

3. Pelaksanaan yang mengandungi perkaedahan, institusi, pentadbiran dan
lain-lain

4. Penilaian.

F. DAFTAR PUSTAKA

Atabik Ali dan Ahmmad Juhdi Muhdlor,

Alasri Kamus Kontemporer Arab-indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996)

W J S Poerwadarminta,

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta Balai Pustaka, 1985)

Hasan Langgulung,

Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta Pustaka al-Husna Baru, 2003)

Sudirman, dkk.,

Ilmu Pendidikan (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991),

Samaun Bakry,

Menggagas Konsep ilmu Pendidikan Islam (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2005)

William E.Gohlman,

The Life of Ibnu Sina

Mahmud., dkk.,

Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung Sahifa, 2005),

Ahmad D. Marimba,

Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung : Al-Ma’arif, 1998)

Ahmad Tafsir,

Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2001)

Anonimous,

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Sahilun Nasir yang dikutip oleh Yatimin Abdullah,

Studi Akhlak Dalam Perspektif al-Quran (Jakarta : Amzah, 2007)

Zakiyah Darajat,

Pendidikan Islam salam keluarga dan sekolah (Jakarta : CV Ruhama Jakarta, 1994)

Ibn Miskawih,

Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir al-Araq (Mesir : Mathbaah-al_Mishiriyah, 1934)

Al-Ghazali,

lhya ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar aI-fikr,tt)

Abuddin Nata,

Akhlak Tasawuf (Jakarta : Raja Grafindo, 2002)

Syed Muhammad Naquib al-Attas

The consept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia (ABIM), 1980)

Ibnu Sina ,

Tadbiru al-Manazil, (Bagdad: tp. 1929)

Ahmad Tafsir,

Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2001)

www.Google.com

Pendidikan Akhlak menurut ibnu sina (Internet)



[1] Atabik Ali dan Ahmmad Juhdi Muhdlor, Alasri Kamus Kontemporer Arab-indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996) hlm 1780

[2] Ibid. Hlm 1281

[3] Ibid. Hlm 326

[4] Ibid. Hlm 1924

[5] Ibid. Hlm 758

[6] Ibid. Hlm 1000

[7] Ibid. Hlm 103

[8] Ibid. Hlm 1258

[9] W J S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta Balai Pustaka, 1985),hlm. 702

[10] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta Pustaka al-Husna Baru, 2003), Hlm 2

[11] Sudirman, dkk., Ilmu Pendidikan (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), hIm. 4

[12] Istilah ta’lim dianggap terlalu sempit, hanya mangandung pengertian pengajaran saja. Istilah tarbiyah dianggap terlalu luas, karena termasuk juga terhadap binatang. Yang dianggap tepat sebenarnya ialah istilah ta’adib, sebab tidak telalu sempit sebatas mengajar saja, dan tidak meliputi makhluk selain dari manusia. Lihat Langgulung,Ibid., hIm. 02 -03

[13] Sudirman, dkk., Ilmu Pendidikan, hlm 4

[14] Samaun Bakry, Menggagas Konsep ilmu Pendidikan Islam (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2005), hlm 14

[15] Yakni yang dikemukakan oieh Hasan Langguiung, menurutnya Pendidikan menempati peran yang strategis, baik dalam pandangan individu maupun masyarakat. Dan segi pandangan masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dan generasi tua kepada generasi muda, agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan. Dengan kata lain, masyarakat mempunyai niiai-nilai budaya yang ingin disalurkan dan generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara. Dan kaca mata individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyl dalam din setiap individu. Ada Iai pandangan ketiga tentang pendidikan, yaitu yang sekaligus memandang ari segi masyarakat atau alam jagat dan dan segi individu. Dan dan segi individu, saiah satu potensi yang ada dalam din manusia adalah akhiak. Lihat Langgulung, Ibid., hIm., 1 -2

[16] Yakni bahwa pendidikan dipahami dalam tiga wilayah, yakni pendidikan dalam makna makna luas, yakni bahwa kehidupan adalah pendidikan, dan pendidikan adalah kehidupan; Pendidikan dalam makna terbatas, ketika pendidikan diproporsikan sebagai sejumlah program pengembangan kualitas manusia; Pendidikan dalam makna sempit, yaitu ketika pendidikan diproporsikan terbatas pada formal sekolah. Lihat Mahmud., dkk., Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung Sahifa, 2005), hIm. 14-15

[17] Yakni yang dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba, yang menyatakan bahwa pendidikana adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani terdidik menuju terbentuknya kerpnibadian sempurna. Lihat Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung : Al-Ma’arif, 1998), hlm 19

[18] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2001), hlm., 26

[19] Anonimous, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

[20] Ahmad Tafsir,Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2001)

[21]Sahilun Nasir yang dikutip oleh Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif al-Quran (Jakarta : Amzah, 20070 hlm 2

[22] Zakiyah Darajat, Pendidikan Islam salam keluarga dan sekolah (Jakarta : CV Ruhama Jakarta, 1994), hlm 1

[23] Ibn Miskawih, Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir al-Araq (Mesir : Mathbaah-al_Mishiriyah, 1934) hlm 40

[24] Al-Ghazali, lhya ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar aI-fikr,tt), hlm. 5

[25] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta : Raja Grafindo, 2002), hlm. 04 -06

[26] Hal ini berkaitan dengan pandangan pendidikannya yang tertuang dalam doktrin mengenai “intelek” atau “aql” dimana ia memandang bahwa proses pembelajaran mengandung implikasi aktualisasi dan penyempurnaan potensi-potensi dan kemampuan intelek (aql) nya apakah itu teoritocal (al nadhari) atau practical (‘amali, akhlaaqi) melalui limpahan cahaya dari Actif Intelect.

[27] Al-Attas menjelaskan bahwa kata ta’dib lebih layak digunakan ketimbang kata “Tarbiyah”. Menurutnya konsekwensi yang timbul akibat tidak dipakai konsep Ta’dib adalah hilangnya adab. Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas The consept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia (ABIM), 1980), h. 15

[28] Kemungkinan ajaran inilah yang membuat Imam Syafi’i berkata dalam Diwannya: Akhi, . . . Lan tanal al ilm illa bi sittatin: Zakaun wa hirshun wa ijtihadun wa dirhamun, wa suhbatu ustazin, wa tulu zamanin

[29] Simak lebih lanjut Ibnu Sina , Tadbiru al-Manazil, (Bagdad: tp. 1929), h. 90


Selanjutnya Silahkan Klik di sini (WAJIB Isi Komentar!!!!)- Analisis Deskriptif Mengenai Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Sina