Jangan Lupa FOLLOW Blog ini Ya.....

SUMBER ZAKAT DALAM PEREKONOMIAN MODERN

BAB I

PENDAHULUAN

Zakat adalah ibadah yang memiliki dua dimensi yaitu vertikal dan horisontal, yaitu merupakan ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah (vertical) dan sebagai kewajiban kepada sesama manusia (horizontal). Zakat juga sering disebut sebagai ibadah maaliyah ijtihadiyah. Tingkat pentingnya zakat terlihat dari banyaknya ayat (sekitar 82 ayat) yang menyandingkan perintah zakat dengan perintah sholat.

Zakat merupakan salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, karena zakat merupakan salah satu implementasi azas keadilan dalam sistem ekonomi Islam. Menurut M.A Mannan (1993)[1] zakat mempunyai enam prinsip yaitu :

1. prinsip keyakinan keagamaan; yaitu bahwa orang yang membayar zakat merupakan salah satu manifestasi dari keyakinan agamanya;

2. prinsip pemerataan dan keadilan; merupakan tujuan sosial zakat yaitu membagi kekayaan yang diberikan Allah lebih merata dan adil kepada manusia.

3. prinsip produktifitas; menekankan bahwa zakat memang harus dibayar karena milik tertentu telah menghasilkan produk tertentu setelah lewat jangka waktu tertentu.

4. prinsip nalar; sangat rasional bahwa zakat harta yang menghasilkan itu harus dikeluarkan.

5. prinsip kebebasan; zakat hanya dibayar oleh orang yang bebas

6. prinsip etika dan kewajaran; yaitu zakat tidak dipungut secara semena-mena

Menurut Monzer Kahf, tujuan utama dari zakat adalah untuk mencapai keadilan sosial ekonomi. Zakat merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin (Kahf,1999).[2]

Muhammad Daud Ali menerangkan bahwa tujuan zakat adalah : (1) mengangkat derajat fakir miskin; (2) membantu memecahkan masalah para gharimin, ibnu sabil dan mustahik lainnya; (3) membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya; (4) menghilangkan sifat kikir dan loba para pemilik harta; (5) menghilangkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin; (6) menjembatani jurang antara si kaya dengan si miskin di dalam masyarakat; (7) mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang terutama yang memiliki harta; (8) mendidik manusia untuk berdisiplin menunaika kewajiban dan menyerahkan hak orang lain padanya; (9) sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan sosial (Ali, 1988).[3]

Sedangkan menurut M.A. Mannan, secara umum fungsi zakat meliputi bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat mengikis ketamakan dan keserakahan hati si kaya. Sedangkan dalam bidang sosial, zakat berfungsi untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat. Di bidang ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan di tangan sebagian kecil manusia dan merupakan sumbangan wajib kaum muslimin untuk perbendaharaan negara.

Makalah ini menyoroti tentang sumber-sumber zakat dalam sistem perekonomian modern dimana dengan perkembangan sumber-sumber ekonomi maka seharusnya sumber zakat pun berkembang, karena tujuan zakat adalah transfer kekayaan dari masyarakat yang kaya kepada masyarakat yang kurang mampu, sehingga setiap kegiatan yang merupakan sumber kekayaan harus menjadi sumber zakat.

Syarat-syarat Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya

Islam selalu menetapkan standard umum pada setiap kewajiban yang dibebankan kepada umatnya, termasuk penetapan harta yang menjadi sumber atau obyek zakat.

Persyaratan harta yang menjadi sumber atau obyek zakat[4]

Pertama, harta tersebut harus didapatkan dengan cara yang baik dan yang halal. Artinya harta yang haram, baik substansi bendanya maupun cara mendapatkannya jelas tidak akan dikenakan zakat, karena Allah tidak akan menerimanya, sebagaimana yang tersebut dalam QS Al Baqarah 267 menyatakan :

“ Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian drai apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan darinya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

Kedua, harta tersebut berkembang atau berpotensi untuk dikembangkan, seperti melalui kegiatan usaha atau perdagangan atau diinvestasikan, baik oleh diri sendiri atau orang lain. Dalam terminologi fiqhiyyah, menurut Yusuf al Qardhawi[5] pengertian berkembang ada dua macam, yaitu secara konkret dan tidak konkret. Yang konkret dengan cara dikembangbiakkan, diusahakan, diperdagangkan dan yang sejenis dengannya. Sedangkan yang tidak konkret maksudnya harta tersebut berpotensi untuk berkembang, baik berada ditangannya maupun di tangan orang lain atas namanya.

Syarat ini sesungguhnya mendorong setiap muslim untuk memproduktifkan harta yang dimilikinya. Harta yang diproduktifkan akan selalu berkembang dari waktu-waktu dan ini sesuai dengan makna zakat “Al Naama” yang berarti berkembang dan bertambah.

Ketiga, milik penuh, yaitu harta tersebut berada di bawah kontrol dan dalam kekuasaan pemiliknya. Atau menurut sebagian ulama bahwa harta itu berada di tangan pemiliknya di dalamnya tidak tersangkut hak orang lain dan ia dapat memilikinya.

Keempat, harta tersebut menurut jumnhur ulama, harus mencapai nisab, yaitu jumlah minimal yang menyebabkan harta terkena kewajiban zakat. Contohnya nisab zakat emas adalah 85 gram, nishab zakat hewan ternak kambing adalah 40 ekor dan sebagainya. Hal ini berdasarkan berbagai hadist yang berkaitan dengan standard minimal kewajiban zakat, misalnya hadist riwayat Bukhari dan Abi Said bahwa Rasulullah saw bersabda :

“Tidaklah wajib sedekah (zakat) pada tanaman kurma yangkurang dari lima ausaq. Tidak wajib sedekah (zakat) pada perak yang kurang dari lima awaq. Tidak wajib sedekah (zakat) pada unta yang kurang dari lima ekor.”

Sedangkan Abu Hanifah[6]berpendapat bahwa banyak atau sedikit hasil tanaman yang tumbuh di bumi wajib dikeluarkan zakatnya, jadi tidak ada nishab. Hal ini berdasarkan hadist riwayat Imam Bukhari dari Salim bin Abdillah, dari bapaknya, bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda :

“Setiap tanaman yang diari oleh air hujan atau air sungai, maka zakatnya adalah sepersepuluh. Dan yang diairi dengan mempergunakan alat, zakatnya adalah separo dari sepersepuluh (lima persen).”

Namun menurut Dr. Didin Hafidhuddin, nisab merupakan keniscayaan sekaligus merupakan kemaslahatan, sebab zakat itu diambil dari orang yang kaya (mampu) dan diberikan kepada orang-orang yang tidak mampu. Indikator kemampuan harus jelas, dan nisablah merupakan indikator kemampuannya. Jika kurang dari nisab, Islam memberikan pintu untuk mengeluarkan sebagian dari penghasilan yaitu infak dan sedekah.

Kelima, sumber-sumber zakat tertentu seperti perdagangan, peternakan, emas dan perak harus sudah berada atau dimiliki atau diusahakan dalam tenggang waktu satu tahun. Persyaratan ini yang disebut persyaratan al haul. Ini berdasarkan hadist riwayat Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah bersabda :

“ Jika Anda memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu waktu satu tahun, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak lima dirham. Anda tidak mempunyai kewajiban apa-apa sehingga Anda memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu waktu satu tahun, dan Anda harus berzakat sebesar setengah dinar. Jika lebih, maka dihitung berdasarkan kelebihannya. Dan tidak ada zakat pada harta sehingga berlalu waktu satu tahun.

Keenam, sebagian ulama mahzab Hanafi mensyaratkan kewajiban zakat setelah terpenuhi kebutuhan pokok, atau dengan kata lain zakat dikeluarkan setelah terdapat kelebihan dari kebutuhan hidup sehari-hari. Yang dimaksud dengan kebutuhan pokok adalah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi akan mengakibatkan kerusakan dan kesengsaraan dalam hidup. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa amatlah sulit untuk menentukan atau mengukur seseorang itu telah terpenuhi kebutuhan pokoknya atau belum. Dan kebutuhan pokok setiap orang berbeda-beda. Karena itu menurut mereka[7] syarat nishab dan an namaa sudahlah cukup.

Sumber-sumber Zakat

Jenis-jenis harta yang menjadi sumber zakat yang dikemukakan secara terperinci dalam Al Qur’an dan hadist, menurut sebagian ulama[8] pada dasarnya ada empat jenis yaitu (1) tanam-tanaman dan buah-buahan, (2) hewan ternak, (3) emas dan perak serta (5) harta perdagangan. Pada masa Rasulullah kelompok harta yang ditetapkan menjadi obyek zakat terbatas pada (1) emas dan perak; (2) tumbuh-tumbuhan tertentu seperti gandum, jelai, kurma dan anggur; (3) hewan ternak tertentu seperti domba atau biri-biri, sapi dan unta; (4) harta perdagangan (tijarah); (5) harta kekayaan yang ditemukan dalam perut bumi (rikaz). Sedangkan menurut ulama yang lain menyatakan bahwa harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah nuqud (emas dan perak), barang tambang dan temuan, harta perdagangan , tanaman dan buah-buahan, hewan atau binatang ternak

Selain dari yang disebutkan itu, Qur’an hanya merumuskan apa yang wajib dizakati dengan rumusan yang sangat umum yaitu ”kekayaan”, seperti firman Nya ” Pungutlah olehmu zakat dari kekayaan mereka .....” . ”Di dalam kekayaan mereka terdapat hak peminta-minta dan orang yang melarat.” Yang harus diperhatikan adalah, apakah definisi dari kekayaan tersebut ? Menurut Yusuf Qardhawi (Yusuf Qardhawi, 123, 2002)[9] kekayaan atau amwal (kata jamak dari maal) menurut bahasa Arab adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Atas dasar tersebut setiap benda berwujud yang diinginkan manusia untuk disimpan atau dimilikinya setelah memenuhi syarat-syarat wajib zakat, harus dikeluarkan zakatnya

Seiring perkembangan zaman, jenis obyek zakat terus berkembang. Para ahli fiqih terus mengadakan pengkajian, melakukan ijtihad untuk menentukan harta-harta obyek zakat yang belum dikenal di zaman Rasulullah. Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hambali & Imam Hanafi banyak memberikan tambahan harta obyek zakat. Pada zaman Umar bin Abdul Azis, sudah dikenal zakat penghasilan yaitu zakat dari upah karyawannya. Didin Hafidhuddin menjelaskan bahwa sektor-sektor ekonomi modern juga merupakan obyek zakat yang potensial. Misalnya penghasilan yang diperoleh dari keahlian, peternakan ayam, lebah, perkebunan, usaha-usaha properti, dan surat-surat berharga seperti saham, dan lainnya

Emas, perak dan uang

Dalil atas diwajibkannya zakat terhadap emas dan perak adalah sebagai berikut :

”Dan orang-orang yang membendaharakan emas dan perak dan mereka tidak membelanjakannya di jalan Allah, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa mereka akan menderita azab yang pedih.”

(QS At Taubah : 34)

Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda :

”Tidak ada seorangpun yang mempunyai emas dan perak yang dia tidak berikan zakatnya, melainkan pada hari kiamat dijadikan hartanya itu beberapa keping api neraka. Setelah dipanaskan, digosoklah lambungnya, dahinya, belakangnya dengan kepingan itu; setiap-setiap dingin, dipanaskan kembali pada suatu hari yang lamanya 50 ribu tahun, sehingga Allah menyelesaikan urusan hambaNya. ”

Ayat dan hadist tersebut menegaskan bahwa mengeluarkan zakat dari emas dan perak yang telah mencapai syarat wajib zakat, wajib hukumnya. Syarat wajib zakat adalah telah mencapai nisab dan haulnya. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud[10] dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW bersabda :

”Apabila anda memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu waktu satu tahun, maka wajib zakat atasnya lima dirham. Anda tidak punya kewajiban zakat emas sehingga anda memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun, dan zakatnya sebesar setengah dinar. Dan jika lebih, maka hitunglah berdasarkan kelebihannya. Dan tidak ada pada harta, kewajiban zakat sehingga berlalu waktu satu tahun.”

Berdasarkan hadist riwayat Abu Dawud, nisab zakat emas adalah 20 misqal atau 20 dinar, sedangkan nisab perak adalah 200 dirham. Banyak perbedaan pendapat tentang 20 misqal tersebut setara dengan berapa gram emas, ada ulama yang menyatakan 96 gram emas, 93, 91, 85 bahkan ada yang 70 gram emas. Menurut Yusuf al Qardhawi[11], yang sekarang banyak dianut oleh masyarakat, 20 misqal adalah sama dengan 85 gram emas. Dua ratus dirham perak sama dengan 595 gram perak.

Termasuk pembahasan di sekitar zakat emas dan perak adalah zakat perhiasan. Para ulama telah sepakat wajibnya zakat atas perhiasan yang haram dipakai seperti perhiasan yang dipakai laki-laki, atau bejana emas dan perak yang dijadikan tempat makan dan minum.

Sedangkan terhadap perhiasan yang dipakai oleh kaum perempuan, jumhur ulama sepakat akan tidak wajibnya zakat bagi perhiasan selain emas dan perak yang dipakai perempuan seperti intan, mutiara dan permata. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah bahwa benda-benda tersebut tidak berkembang, tetapi sekedar kesenangan dan perhiasan bagi kaum perempuan yang diizinkan Allah sebagaimana tersebut dalam QS An Nahl : 14. Pendapat berbeda dikemukakan oleh ulama syiah yang mengatakan bahwa zakat tetap diwajibkan atas perhiasan selain emas dan perak seperti intan dan permata berdasarkan keumuman QS At Taubah : 103 yang menyatakan zakat harus dikeluarkan dari setiap harta yang dimiliki.

Untuk kondisi saat ini, dimana barang-barang perhiasan bernilai ekonomis yang tinggi, yang nilainya sangat mahal dan seringkali melebihi nisab emas, sudah selayaknya pendapat terakhir ini harus diperhatikan.

Hal lain yang berdekatan dengan zakat emas dan perak adalah zakat uang. Zakat uang nisab dan kadar zakatnya nya sama atau setara dengan nisab emas yaitu 85 gram emas dan kadarnya 2,5%.

Zakat Hasil Pertanian

Para ulama sepakat tentang kewajiban zakat hasil pertanian, sesuai dengan perintah Allah pada QS Al Baqarah ayat 267 dan QS Al An’am ayat 141 :

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.........”

(QS Al Baqarah : 267)

“ Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya, (dengan dikeluarkan zakatnya).......” (QS Al An’am : 141).

Ayat-ayat tersebut bersifat umum, dengan demikian dapat dipahami bahwa seluruh tanaman wajib dikenakan zakatnya. Namun demikian, ada perbedaan pendapat para ulama tentang jenis tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya (M. Ali Hasan : 6-7, 2000)[12] antara lain yaitu :

1. Al Hasan al Bashri, al-Tsauri dan as-Sya”bi berpendapat hanya empat macam jenis tanaman yang wajib dizakati yaitu biji gandum, padi, kurma dan anggur. Syaukani juga berpendapat demikian. Alasan kelompok ini adalah karena hanya itulah yang disebutkan dalam nash (al hadist).

2. Abu Hanifah berpendapat bahwa semua tanaman yang diusahakan (produksi) oleh manusia dikenakan zakat kecuali pohon-pohonan yang tidak berbuah.

3. Abu Yusuf dan Muhammad (keduanya murid Abu Hanifah) berpendapat bahwa semua tanaman yang bisa bertahan selama satu tahun (tanpa bahan pengawet) dikenakan zakat.

4. Malik berpendapat bahwa tanaman yang bisa tahan lama kering, dan diproduksi atau diusahakan oleh manusia dikenakan zakat.

5. Syafi’i berpendapat bahwa semua tanaman yang mengenyangkan (memberi kekuatan), bisa disimpan (padi, jagung) dan diolah manusia wajib dikeluarkan zakatnya.

6. Ahmad bin Hambali berpendapat bahwa semua hasil tanaman yang kering, tahan lama, dapat ditimbang (takar) dan diproduksi (diolah) oleh manusia dikenakan zakat.

7. Mahmud Syaltut, berpendapat bahwa semua hasil tanaman dan buah-buahan yang dihasilkan oleh manusia dikenakan zakat.

Dalam persoalan ini, penulis cenderung kepada pendapat Mahmud Syaltut, karena pada hakikatnya bukan jenis tanamannya yang dikenakan zakatnya, tetapi tanaman apapun merupakan karunia Allah. Dengan perkembangan perekonomian sekarang, tanaman-tanaman yang belum dikenal pada zaman Nabi telah menjadi komoditas yang sangat menguntungkan, misalnya di Indonesia yaitu kelapa sawit, cengkeh, lada, kopi, buah-buahan, anggrek, tanaman hias dan tanaman lainnya.

Syarat zakat pertanian

Pertama, berupa tanaman atau buah-buahan yang dapat berkembang, sebab zakat adalah bagian dari barang tersebut atau bagian dari jenisnya tanpa melihat kepemilikan tanahnya.

Kedua, nisabnya 5 ausaq berdasarkan hadist Nabi : ”Harta yang kurang dari 5 ausaq tidak wajib zakat.”

Sedangkan kadar zakat, menurut ketentuannya tanaman yang bergantung kepada tadah hujan, maka kadar zakatnya sebanyak 10%, sedangkan tanaman yang mempergunakan alat-alat yang memerlukan biaya termasuk pemeliharaannya, kadar zakatnya 5%.

Zakat Peternakan

Dalam berbagai hadis dikemukakan bahwa hewan ternak yang wajib dikeluarkan zakatnya setelah memenuhi persyaratan tertentu ada tiga jenis hewan ternak yaitu unta, sapi dan domba. Sedangkan di luar ketiga jenis tersebut, para ulama berbeda pendapat. Abu Hanifah berpendapat bahwa pada binatang kuda dikenakan kewajiban zakat, sedangkan Imam Maliki dan Imam Syafi’i tidak mewajikannya, kecuali bila kuda itu diperjualbelikan. Hal yang senada diungkapkan oleh Sabiq[13] bahwa tidak ada kewajiban zakat selain hewan ternak yang tiga tersebut Sedangkan kuda, keledai, dan himar tidak wajib zakat atasnya kecuali jika diperdagangkan. Dalam al-Mausu’ah al-Fiqiyyah dikemukakan bahwa dalam hal ternak kuda, sebagian ulama mewajibkannya, sebagian lagi menyatakan tidak. Sedangkan keledai, himar dan binatanag lainnya, tidaklah dikenakan kewajiban zakat kecuali jika diperjualbelikan. Yusuf al-Qaradhawi membahas zakat sapi, mengutip pendapat Ibnu Mundzir yang menganologikan kerbau pada sapi. Bahkan, ia menyatakan bahwa kedua jenis binatang ini, wajib dikeluarkan zakatnya, berdasarkan ijma’ ulama.

Karena itu, apabila diperhatikan dali-dalil dalam Al-Qur’an dan hadits serta pendapat para ulama, dapatlah disimpulkan bahwa hewan ternak selain tiga jenis tersebut di atas, yanag kini dalam perekonomian modern berkembang pesat, seperti peternakan unggas, tidaklah termasuk pada kategori zakat hewan ternak, melainkan pada zakat perdagangan, karena memang sejak awal, jenis peternakan ini sudah diniatkan sebagai komoditas perdagangan.

Nisab dan kadar zakat hewan ternak berbeda-beda untuk setiap jenis dan jumlah ternak. Untuk unta, nisabnya mulai dari 5 ekor unta dengan kadar zakatnya untuk jumlah 5-9 ekor unta adalah 1 ekor kambing yang berumur 2, sedangkan jika jumlahnya melebihi 121 ekor maka kadar zakatnya 3 ekor anak unta betina berumur 2 tahun atau lebih. Sedangkan sapi / kerbau, nisabnya mulai 30-39 ekor yang kadar zakatnya 1 ekor sapi/kerbau berumur 1 tahun. Untuk kambing, nisabnya mulai 40, dan kadar zakatnya untuk jumlah 40 -120 adalah 1 ekor anak kambing berumur 1 tahun.

Hewan-hewan yang diperselisihkan oleh fuqaha berkenaan dengan macamnya dan ada pula sifatnya. Yang diperselisihkan macamnya adalah kuda, dimana jumhur ulama menyatakan kuda tidak wajib dizakati. Mengenai sifat hewan yang diperselisihkan ialah antara yang digembalakan dan tidak digembalakan. Zakat peternakan ini hanya diperlakukan bagi hewan-hewan yang sengaja diternakkan, tidak dengan maksud diperjualbelikan. Sedangkan untuk hewan-hewan yang dibudidayakan dengan maksud untuk diperjualbelikan hewannya ataupun hasilnya seperti ayam (pedaging & petelur), bebek, sapi (perah & potong) , unta, kuda, biri-biri, madu dan lain sebagainya dikenakan zakat perdagangan.

Zakat Perdagangan

Hampir seluruh ulama sepakat bahwa perdagangan itu setelah memenuhi syarat tertentu harus dikeluarkan zakatnya. Yang dimaksud harta perdagangan adalah semua harta yang bisa dipindah untuk diperjualbelikan dan bisa mendatangkan keuntungan Kewajiban zakat harta perdagangan ini berdasarkan nash Al Qur’an, hadist dan ijma’. Firman Allah :

”...Dan keluarkan zakat dari hasil usahamu yang baik-baik.....” QS 2 : 267


Nash al Qur’an ini bersifat umum, yang berarti zakat atas semua harta yang dikumpulkan dengan cara bekerja yang halal, termasuk berjual beli. Sedangkan dasar hadis diantaranya adalah ” riwayat dari Abu Dawud dari Samurah bin Jundus, dia berkata : Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk mengeluarkan sadaqah dan zakat dari apa yang kita jual.[14]

Syarat-syarat harta perdagangan

Syarat umum dari zakat harta perdagangan adalah adanya nisab, sudah satu tahun, dan bebas dari hutang, termasuk kebutuhan pokok. Sedangkan syarat praktisnya adalah adanya niat memperdagangkan harta dagangan, dan niat untuk memperoleh penghasilan. (Inayah, 2003)[15]. Menurut Mahzhab Syafi’i, syarat barang perdagangan pertama adalah dia memiliki barang itu dengan jalan membeli, niat ketika membeli untuk diperdagangkan (apabila dimiliki dengan jalan pusaka, wasiat atau hibah tidak menjadi tijarah).[16]

Standar zakat harta perdagangan

Standar zakat ini biasanya berupa harta atau uang yang ada saat ini, juga mata uang, barang berharga, hutang, barang yang bisa diperjualbelikan (persediaan) dan harta yang dapat dihitung dengan nilai harga tetap (fix asset)

Nilai zakat harta perdagangan para fuqaha berbeda pendapat mengenai nilai yang dihitung ketika mengeluarkan zakat yaitu : Pertama, harta dagangan hendaknya dihitung dengan harga barang di pasar ketika sampai waktu wajib zakat. Hal ini berdasarkan pada riwayat dari Zaid bin Jabir, dia berkata : ”Hitunglah sesuai dengan harganya ketika datang zakat, kemudian keluarkanlah zakatnya.”[17] Kedua, harga barang tersebut dihitung dengan harga yang hakiki terhadap nilai barang dagangan, pendapat ini berdasar riwayat dari Ibnu Abbas, dia berpendapar : Sebaiknya menunggu waktu sampai menjual untuk memperkuat bahwa taksiran itu sempurna atas dasar nilai barang yang hakiki yang dijual dengan harta dagangan.” Sedangkan pendapat ketiga adalah orang harus membayar zakat dengan harga yang dia beli dengan nilai harta dagangan.[18] Nisab zakat harta perdagangan adalah senilai dengan 20 misqal emas, dengan kadar zakat 2,5% berdasarkan hadis : ”Berikan zakatnya dari setiap 40 dirham, 1 dirham.[19]

Zakat Barang Temuan dan Hasil Tamban

Meskipun para ulama telah sepakat tentang wajibnya zakat pada barang tambang dan barang temuan, tetapi mereka berbeda pendapat tentang makna barang tambang (ma’din), barang temuan (rikaz), atau harta simpanan (kanz), jenis-jenis barang tambang yang wajib dikeluarkan zakatnya dan kadar zakat untuk setiap barang tambang dan temuan.[20]

Kewajiban zakat atas rikaz, ma’din dan kekayaan laut ini dasar hukumnya adalah keumuman nash dalam QS Al Baqarah, 2 : 103, 267. Rikaz menurut jumhur ulama adalah harta peninggalan yang terpendam dalam bumi atau disebut harta karun. Rikaz tidak disyaratkan mencapai haul, tetapi wajib dikeluarkan zakatnya pada saat didapatkan. Kadar zakat rikaz yaitu seperlima (20%). Hal ini dijelaskan di dalam Hadist Nabi s.a.w :

Artinya :

Dari Abu Hurairah, telah berkata Rasullullah s.a.w : ”zakat rikaz seperlima” (HR Bukhari dan Muslim).

Ma’din adalah segala sesuatu yang diciptakan Allah dalam perut bumi, baik padat mauun cair seperti emas, perak, tembaga, minyak, gas, besi sulfur dan lainnya. Besar zakat yang harus dikeluarkannya sama dengan rikaz yaitu seperlima. Namun mengenai nisabnya ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama.[21]

Pendapat yang lebih kuat dan didukung oleh Yusuf Qardhawi adalah bahwa rikaz tetap harus memenuhi persyaratan nisab, baik yang dimiliki oleh individu maupun negara. Demikian juga hasil yang dikeluarkan dari laut seperti mutiara, marjan, dan barang berharga lainnya, nisabnya dianalogkan dengan zakat pertanian.

Kategori yang kedua adalah zakat berdasarkan modal dan hasil yang didapat dari modal tersebut. Untuk zakat ini mengikuti persyaratan haul, yaitu berlaku satu tahun.

Sumber-sumber zakat dalam perekonomian modern

Zakat Profesi

Zakat Perusahaan

Para ulama kontemporer menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena dipandang dari aspek legal dan ekonomi, kegiatan sebuah perusahaan intinya berpijak pada kegiatan trading atau perdagangan.

Hal tersebut dikuatkan oleh keputusan seminar zakat di Kuwait, tanggal 3 April 1984 tentang zakat perusahaan sebagai berikut:

Zakat perusahaan disamakan dengan perdagangan apabila kondisi-kondisi sebagai berikut terpenuhi :

1. Adanya peraturan yang mengharuskan pembayaran zakat perusahaan tersebut.

2. Anggaran Dasar perusahaan memuat hal tersebut.

3. RUPS mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan hal itu.

4. Kerelaan para pemegang saham menyerahkan pengeluaran zakat sahamnya kepada dewan direksi perusahaan.

Pendapat ini berdasarkan prinsip usaha bersama yang diterangkan dalam hadis Nabi saw. tentang zakat binatang ternak yang penerapannya digeneralisasikan oleh beberapa madzhab fikih dan yang disetujui pula dalam Muktamar Zakat I. Idealnya perusahaan yang bersangkutan itulah yang membayar zakat jika memenuhi keempat kondisi yang disebutkan di atas. Jika tidak, maka perusahaan harus menghitung seluruh zakat kekayaannya kemudian memasukkan ke dalam anggaran tahunan sebagai catatan yang menerangkan nilai zakat setiap saham untuk mempermudah pemegang saham mengetahui berapa zakat sahamnya. (fatwa zakat kontemporer).

Mengingat penganalogian zakat perusahaan kepada zakat perdagangan maka pola penghitungan, nisab dan syarat-syarat lainnya juga mengacu pad zakat perdagangan. Dasar penghitungan zakat perdagangan adalah mengacu pada suatu riwayat yang diterangkan Oleh Abu Ubaid dalam kitab Al Amwal “Apabila telah sampai batas waktu untuk membayar zakat, perhatikanlah apa yang engkau miliki baik uang (kas) ataupun barang yang siap diperdagangkan (persediaan), kemudian nilailah dengan nilai uang. Demikian pula piutang. Kemudian hitunglah hutang-hutangmu dan kurangkanlah atas apa yang engkau miliki”

Dari penjelasan diatas maka pola penghitungan zakat perusahaan adalah didasarkan pada neraca (balance sheet) dengan mengurangkan kewajiban lancar atas aktiva lancar. Metoda penghitungan ini biasa disebut dengan metoda Syar’iyyah, Metode ini digunakan di Saudi Arabia dan beberapa negara Islam lainnya sebagai pendekatan penghitungan zakat perusahaan.

Zakat Surat-surat Berharga

1. Zakat Saham

Salah satu bentuk harta yang berkaitan dengan perusahaan dan bahkan berkaitan dengan kepemilikannya adalah saham. Pemegang saham adalah pemilik perusahaan yang mewakilkan kepada manajemen untuk menjalankan operasional perusahaan. Pada setiap akhir tahum biasanya pada watku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dapatlah diketahui keuntungan (deviden) perusahaan termasuk juga kerugiannya. Pada saat itulah ditentukan kewajiban zakat terhadap saham tersebut.

Yusuf al Qaradhawi mengemukakan dua pendapat yang berkaitan dengan kewajiban berzakat pada saham tersebut. Pertama jika perusahaan itu merupakan perusahaan industri murni, artinya tidak melakukan kegiatan perdagangan maka sahamnya tidaklah wajib dizakati, Misalnya perusahaan hotel, biro perjalanan dan angkutan (darat, laut udara). Alasannya adalah saham-saham itu terletak pada alat-alat perlengkapan , gedung-gedung, sarana dan prasarana lainnya, Akan tetapi keuntungan yang ada dimasukkan ke dalam harta para pemilik saham tersebut, lalu zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Syaikh Abdul Rahman Isa. Kedua, jika perusahaan tesebut merupakan perusahaan dagang murni yang membeli dan menjual barang-barang, tanpa melakuakn kegiatan pengolahan, seperti perusahaan yang menjual hasil-hasil industri, perusahaan daganginternasional, perusahaan ekspor impor, maka saham-saham atas perusahaan itu wajib dikeluarkan zakatnya. Hal yang sama berlaku pada perusahaan industri dagang, seperti perusahaan yang mengimpor bahan-bahan mentah, kemudian mengolah dan menjualnya, contohnya perusahaan minyak, perusahaan pemintalan kapas dan sutera, perusahaan besi danbaja dan perusahaan kimia.

Menurut Abudurrahman Isa kriteria wajib zakat aatas saham-saham perusahaan adalah perusahaan perusahaan itu harus melakukan kegiatan dagang, apakah disertai dengan kegiatan industri ataupun tidak

Sementara itu beberapa ulama berpendapat bahwa saham dan juga obligasi adalah harta yang dapat diperjual belikan karena itu pemiliknya mendapatkan keuntungan dari hasil penjualannya, sama seperti barang dagangan launnya. Karenan nya saham dan obligasi termasuk ke dalam katergori barang dagangan dan sekoligus merupakan objek zakat.

Sejalan dengan itu Muktamar Internasional Pertama tentang zakat di Kuwait (29 rajab 1404) menetapkan kewajiban zakat terhadap saham.

Karena itu dari sudut Islam , saham termasuk ke dalam harta yang wajb dikeluarkan zakatnya.



[1] Mannan, M.A. Islamic Economics : Theory and Practice. Lahore. 1970.

[2] Kahf, Monzer. The Principle of Socioeconomics Justice in The Comtemporarry Fiqh of Zakah. Iqtisad. Journal of Islamic Economics. Vo. 1. Muharram 1420 H / April 1999.

[3] Ali, Mohamad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. UI Press. Jakarta. 1988.

[4] Hafidhuddin, Didin, Dr. Zakat dalam Perekonomian Modern. Gema Insani Press. Jakarta. 2002

[5] al Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat. (Terjemah) . PT. Pustaka Litera Antarnusa. Jakarta, 1998.

[6] Hafidhuddin, op.cit.

[7] al Qardhawi, Yusuf . op.cit.

[8] lihat Ibnul Qayyim dalam Hafidhuddin.op.cit

[9] al Qardhawi, Yusuf. opcit.

[10] Didin Hafidhuddin. Opcit.

[11] Didin Hafidhuddin. Opcit

[12] Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyyah : Zakat, Pajak, Asuransi & Lembaga Keuangan. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2000.

[13] Abdurrahman Al-jaziiri, opcit.

[14] al Qardawi, Yusuf. .opcit

[15] Inayah, Gazi. Teori Komprehensip tentang Zakat dan Pajak. (Terjemah). PT Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta. 2003

[16] Ali, Mohammad Daud. Op.cit

[17] Abu Ubaid dalam Gazi Inayah. Op.cit

[18] al Qardhawi, Yusuf. opcit

[19] al Qardhawi, Yusuf. Opcit.

[20] Wahbah az Zuhaili dalam Hafiduddin, opcit.

[21] Qardhawi, Yusuf. Op.cit. hal 410-432

0 komentar: