Jangan Lupa FOLLOW Blog ini Ya.....

Aliran KalamASY’ARIYAH


A. Latar Belakang Masalah
Permulaan dari perpecahan ummat Islam, boleh dikatakan sejak wafatnya Nabi. Tetapi perpecahan itu menjadi reda, karena terpilhnya Abu Bakar menjadi khalifah.
Setelah beberapa lamanya Abu Bakar memegang kekhalifahan, mulai timbul kembali perpecahan, yang dihembuskan oleh orang-orang yang murtad dari Islam dan orang-orang yang mengumumkan dirinya menjadi Nabi Seperti Musailamatul-Kazzab, Thulaihah, Sajah dan Al-Aswad al-Ansy.
Di samping itu ada pula golongan-golongan yang tidak mau membayar zakat kepada Abu Bakar. Padahal tadinya mereka semua membayar zakat pada Nabi. Akan tetapi semua perselisihan itu segera dapat diatasi dan dipersatukan kembali, karena kebijaksanaan khalifah Abu Bakar. Maka selamatlah kekuasaan Islam yang muda itu dari ancaman fitnahan yang akan menghancur-leburkannya.
Demikianlah berjalan masa-masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dalam kubu persatuan yang erat dan persaudaraan yang mesra.
Dalam masa ke tiga khalifah itulah, dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya mengerahkan semua tenaga kaum Muslimin untuk menyiarkan dan mengembangkan Islam keseluruh alam.
Tetapi setelah Islam meluas kemana-mana, tiba-tiba diakhir khalifah Usman, terjadi suatu cedera yang ditimbulkan oleh tindakan Usman yang kurang disetujui oleh pendapat umum.
Menurut pendapat umum, sebagian tindakan Usman kurang sesuai dengan zaman. Sebab itu pandangan umum menjadi kurang senang terhadapnya. Apalagi terhadap pelaksana-pelaksananya, yang tidak beres dalam pekerjaannya, karena kurang pengawasan Usman sendiri.
Inilah asalnya fitnah yang membuka kesempatan untuk orang-orang yang lapar kedudukan, menggulingkan pemerintahan Usman.
Fitnah ini mengakibatkan terbunuhnya Usman. Setelah itu maka Ali terpilih menjadi khalifah. Akan tetapi sayang pilihannya itu tanpa suara bulat, karena ada golongan yang tidak menyetujui pengangkatan itu. Bahkan, ada yang menentang pengangkatan tersebut yang menuduh Ali ikut campur atau sekurang-kurangnya membiarkan komplotan pembunuhan Usman.
Semenjak itulah, berpangkalnya perpecahan ummat Islam hingga menjadi beberapa partai atau golongan. Diantaranya aliran Ahlussunaw wal jamaah
Pengertian bahasa As Sunnah berarti keadaan masa hidup, jalan, tabiat dan syara’at. Sedangkan Jamaah berarti Kumpulan, menjadi Himpunan Kelompok, maksudnya Ahlussunnah wal-Jama’ah ialah nama bagi satu ikatan atau golongan ulama-ulama limu Kalam, Fiqih, Tafsir dan Hadits untuk menghadapi serangan-serangan dari Mutazilah, Khawarij dan Syiah. Dalam segala hal bentuk aliran, serta mengembalikan paham keagamaan sahabat utama.
Dalam ilmu Tauhid (Ilmu Kalam) aliran Ahlussunnah Wal Jama’ah lahir pada abad ke tiga Hijrah dengan dipelopori oleh seorang ulama terkemuka bernama Abu Hasan Al-Asyari (230 - 290 H/873-935 M). (Aliran As-Asyariyah), kemudian diikuti oleh Abu Manshur Al Maturidi (aliran Maturidiyah) dengan tujuan mengembalikan aqidah kaum Muslimin kepada kemurniannya sebagaimana yang diharuskan oleh Rasululloh s.a.w. dan para sahabat.
Adapun ungkapan Ahlussunnah (sering juga disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu‘taziliah -sebagaimana juga Asy ‘ariyah- masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy‘ariyah dan merupakan lawan Mu‘tazilah. Pengertian kedua inilah yang dipakai dalam pembahasan ini.
Selanjutnya, term Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy ‘ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaranajaran Mu ‘tazilah.
Term ahli Sunnah dan Jama’ah ini kelihatannya timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan Mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran-ajaran itu. Mulai dari Wasil, usaha-usaha telah dijalankan untuk menyebarkan ajaran-ajaran itu, di samping usaha-usaha yang dijalankan dalam menentang serangan musuh-musuh Islam. Menurut Ibn al-Murtada, Wasil mengirim murid-muridnya ke Khurasan, Armenia, Yaman, Marokko, dan lain-lain. Kelihatannya murid-murid itu berhasil dalam usaha-usaha mereka, karena menurut Yaqut, di Tahart, suatu tempat di dekat Tilimsan di Marokko, terdapat kurang lebih 30 ribu pengikut Wasil. Mulai dari tahur 100 H atau 718 M, kaum Mu’tazilah dengan perlahan-lahan memperoleh pengaruh dalam masyarakat Islam. Pengaruh itu mencapai puncaknya di zaman Khalifah-khalifah Bani ‘Abbas al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan al-Wasiq (813 M-847 M), apalagi setelah al-Ma’mun di tahun 827 M mengakui aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Karena aliran Ahlussunah itu ada 2 golongan maka penulis membatasi makalah ini dengan hanya membahas ASY’ARIYAH.
Setelah melihat penjelasan tadi maka dalam makalah ini penulis menganggap penting untuk membahas ASY’ARIYAH dengan judul : “TEOLOGI ASY’ARIYAH”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, penulis dapat merumuskan masalah-masalah sebagai berikut :
1. Siapa pendiri aliran Asy’ariyah ?
2. Siapa saja tokoh yang sangat menonjol di Asy’ariyah ?
3. Apa saja doktrin-doktrin teologi Al-Asy’ari?
BAB II
PEMBAHASAN


A. Sejarah Timbulnya Aliran Asy’ariyah

Asy’ariah adalah salah satu aliran dalam teologi yang namanya dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Hasan ‘Ali bin Isma’il al-Asy’ari.
Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il aI-Asy’ari lahir di Basrah di tahun 873 M dan wafat di Bagdad pada tahun 935 M. Pada mulanya ia adalah murid al-Jubba’i dan salah seorang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah sehingga menurut al-Husain Ibn Muhammad al-’Askari, al-Jubba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.
Tetapi oleh sebab-sebab yang tidak begitu jelas, al-Asy’ari, sungguh pun telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab yang biasa disebut, yang berasal dan al-Subki dan Ibn ‘Asakir, ialah bahwa pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah. Sebab lain bahwa al-Asy’ari berdebat dengan gurunya al-Jubba’i dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab tantangan murid.
Salah satu perdebatan itu, menurut al-Subki, berlaku sebagai berikut:
Al-Asy‘ah :Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: Mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat?
al-Jubba‘i :Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terlepas dan bahaya neraka.
Al-Asy’ari :Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga, mungkinkah itu?
al-Jubba‘i : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang serupa itu.
Al-Asy’ari :Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: Itu bukanlah salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan menger jaka perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.
al-Jubba’i : Allah akan menjawab: “Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau ,sampai kepada umur tang gun jawab.”
Al-Asy’ari :Sekiranya yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?”
Di sini al-Jubba’i terpaksa diam.

Terlepas dan soal sesuai atau .tidak sesuainya uraian-uraian al-Subki di atas dengan fakta sejarah, jelas kelihatan bahwa al-Asy’ari sedang dalam keadaan ragu-ragu dan tidak merasa puas lagi dengan aliran Mu’tazilah yang dianutnya selama ini. Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa al-Asy’ari mengasingkan diri di rumah selama lima belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Sesudah itu ia keluar rumah, pergi ke mesjid, naik mimbar dan menyatakan:
“Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir tentang keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang diberikan masing-masing golongan. Dalil-dalil yang dimajukan, dalam penelitian saya, sama kuatnya. Oleh karena itu saya meminta petunjuk dari Allah dan atas petunjuk-Nya saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan baru yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini.

Dari pemaparan diatas jelas bahwa al-Asy’ari keluar dari paham mu’tazilah karena mu’tazilah tidak dapat menyelesaikan masalah dengan memuaskan, sehingga menimbulkan perasaan syak dalam diri al-Asy’ari sengingga berinisiatif untuk mendirikan aliran baru yang bernama ASY’ARIYAH.

B. Tokoh-Tokoh Aliran Asy’ariyah

1. Abu Hasan Al-Asy’ari
Al-Asy’ari adalah orang yang mendirikan aliran (al-Asy’ariah). Aliran ini ia dirikan berlandaskan pada asas perpaduan antara kaum Salaf dengan Mu’tazilah. (Sebagai bukti), porsi problematika sifat-sifat Tuhan dengan perpaduan ini nampak begitu jelas. Di satu pihak, sependapat dengan kaum Salaf, al-Asy’ari meneguhkan sifat-sifat (Tuhan). Sedangkan_pada posisi lain, sependapat dengan kaum Mu’tazilah, al-Asy’ari mengatakan bahwa sifat-sifat itu ada pada zat. Akan tetapi al-Asy’ari mengulang kembali apa yang telah dikatakan oleh Ibn Kilab bahwa “Tidak boleh dikatakan bahwa zat itu adalah sifat-sifat”. ini merupakan pernyataan yang tidak terlepas dan kontradiksi, dan bagaimanapun juga ia tidak mengemukakan banyak (hal). Al-Asy’ari tidak bisa mengingkari apa yang disebut di dalam Kitab Allah dan al-Sunnah bahwa Allah punya singgasana, wajah dan tangan, tetapi ia menerima, sejalan dengan pandangan kaum Salaf, apa adanya dengan tanpa bagaimana (cara) dan Tasybih (mengantropomorfiskan), atau terkadang ia takwilkan sejalan dengan kaum Mu’tazilah. Al-Asy’ari berusaha keras untuk menggunakan dalil-dalil naqliah dan akliah yang kokoh untuk memungkinkan melihat Allah dengan cara memberikan kesan kepada kita seakan ia berbeda pendapat dan kaum Mu’tazilah, kemudian segera menetapkan bahwa peristiwa melihat Allah tidak mengkonsekuensikan arah dan ruang, tetapi hanya sekadar merupakan jenis pengetahuan dan persepsi, yang jalannya adalah mata dengan cara yang tidak biasa seperti di dunia. Al-Asy’ari juga mengambil sikap tengah dalam masalah sifat Kalam (Allah Maha Berfirman). Untuk itu ia menggunakan istilah kalam dalam dua pengertian: “Yang dimaksud dengan kalam adalab al-Ma’na al-Nafsi al-Qa’im bi al-Zãt (pengertian kalam yang ada pada zãt). Sifat ini dikaitkan kepada Allah, adalah eternal dan azali. Sifat kalam ini juga dipergunakan pada suara-suara dan huruf-huruf yang menyampaikan pengertian ini. ini, secara tidak diragukan lagi adalah temporal (hadiah). Dengan teori ini problem atika ‘apakah al-Qur’ãn itu makhluk’ bisa dipecahkan dengan penyelesaian yang ringan dan mudah. Sependapat dengan Mu’tazilah, al-Asy’ari menetapkan bahwa Allah Maha Adil. Namun, sependapat dengan kaum Salaf, al-Asy’ari menolak pandangan yang mengharuskan Allah SWT untuk melakukan sesuatu, walaupun itu teori al-Salah wa al-Aslah (pandangan yang mengatakan bahwa Allah harus melakukan yang baik dan yang terbaik), karena Allah bebas melakukan apa yang ia kehendaki. Akhimya, al-Asy’ari menerima teori yang dikemukakan oleh Mu’tazilah bahwa akal bisa mengetahui kebaikan dan kejelekan yang ada di dalam benda-benda, tetapi ini tidak diharuskan kecuali berdasarkan dalil naqli, karena setiap orang –walaupun dengan akalnya bisa mengetahui Allah tetapi pengetahuannya ini diwajibkan kepadanya hanya atas perintah syara.
2. Abu Bakar al-Baqillani (403 H = 1013 M)
Abü Bakar al-Baqilläni adalah pengganti pertama dari al-Asy’ari. Ia dilahirkan beberapa tahun setelah al-Asy’ari. Ia menghabiskan semua kehidupannya kira-kira pada abad ke-4 H. Ia sempat hidup di abad ke-5 hanya 3 tahun saja. Jadi ia menyaksikan fase pertama dan sekian fase yang dilalui oleh mazhab al-Asy’ariah. Ia ikut aktif membela mazhab al-Asy’ariah menentang Mu’tazilah. Ia dipanggil oleh Adl al-Daulah untuk mendebat mereka di Syairaz, dan Ia bertahan bersamanya sempai keduanya bersama-sama masuk Bagdad. Jelas sekali bahwa ia adalah seorang ahli diskusi yang canggih. Oleh sebab itu, ia mengutusnya sebagai ketua delegasi menuju Konstantinopel guna berdebat dengan tokoh-tokoh Masehi, yang kemudian berhasil mengalahkan mereka. Ia juga mengkritik orang-orang Hanabilah (para pengikut Imam Hambali). Bahkan serangannya terhadap al-Asy’ari tidak lebih enteng dibandingkan dengan Mu’tazilah.
Sebelumnya kami telah menjelaskan bahwa ia terpengaruh oleh Mu’tazilah. Misalnya, ia menganut teori atom (al-Jauhar al-Fard) seperti yang dilakukan oleh al-Asy’ari. Ia dasari dan Ia perdalami. Ia mengemukakan teori al-Ahwal (Kondisi-kondisi), dan berusaha untuk menyamakan al-Hal (kondisi) dengan sifat. Tidak diragukan lagi bahwa Ia dinilai sebagai orang pertama yang mengokohkan sendi-sendi aliran al-Asy’ariah. Ia tambah dengan landasan rasional walaupun ia mengemukakan prinsip yang akibatnya harus ia tanggung. yakni, bahwa batalnya dalil berarti batalnya madlul . Ia nyaris mengulang-ulang teori ketuhanan yang dikemukakan oleh al-Asy’ari.

3. Imam a1-Haramain (478 H = 1058 M)
Imam a1-Haramain adalah orang pertama satu dari empat tokoh yang membela aliran al-Asy’ariah di abad ke-5 H. Tokoh yang kedua adalah ‘Abd al-Qahhãr a1-Bagddi (429 H = 1037 M) penulis al-Farq bain al-Firaq, yang lebih cenderung berfanatik dan lebih banyak menyerang Mu’tazilah. Tokoh yang ketiga adalah al-Qusyairi (465 H = 1072 M) yang tertimpa fitnah di Khurasan yang terjadi antara Mu ‘tazilah dan Asy ‘ariah. Tokoh keempat adalah al-Gazãli yang hidup hanya beberapa tahun di abad ke-6 H.
Imam al-Haramain lahir di Naisabur. Dari sini, ia pindah ke Hijaz untuk menghindari fitnah yang terjadi di Khurasan. Ia berdomisili di Bagdad untuk beberapa waktu. Akhirnya, menetap di Naisabur sekitar 30 tahun sembari menyebarluaskan mazhab al-Asy ‘ariah. Aliran ini ia dukung melalui Sekolahan Nizamiah yang ia kelola. Sekolahan Nizamiah merupakan aliran pertama yang menyatakan secara terangterangan sebagai Sunni.
Imam al-Haramain mengaku secara ringkas bahwa “Pendapat yang kami setujui dan agama yang kami pegang sebagai akidah, adalah mengikuti kaum Salaf. Dengan demikian, Imam al-Haramain nyaris mengulang-ulang (kembali) secara tekstual apa yang sebelumnya sudah dikatakan oleh al-Asy’ari. Imam al-Haramain mengoreksi apa yang dikatakan oleh al-Baqillãni bahwa batinnya dalil mengakibatkan batalnya Madlul; memperluas ruang gerak untuk menerima pendapat-pendapat fiosofis yang tersebar luas di zamannya atas prakarsa Ibnu Sina dan murid-muridnya; meratakan jalan bagi orang-orang belakangan yang telah mencampur adukkan ilmu kalam dengan filsafat. Mengenai masalah ketuhanan, Imam al-Haramain memegangi pendapat yang dikatakan oleh al-Asy’ari, walau untuk beberapa waktu ia cenderung kepada teori al-ahwal. Sependapat dengan aI-Baqillãni, ia menganggap aI-Baqa’ (Sifat Kekal Allah) sebagai watak Zãt, bukan sifat tambahan bagi Zãt seperti yang dipegangi oleh al-Asy’ari.

4. AI-Gazali ( 505 H = 1111 M )
Al-Gazali memang Hujjah al-Islam. Ia membela Islam dalam menolak orang-orang Nasrani, juga dalam serangannya terhadap kaum Batiniah dan kaum filosof. Al-Gazali menganut dan membentengi mazhab al-Asy’ariah, walaupun ia mengritik kajian teoritik yang dilakukan oleh kaum Mutakallimin (teologi Islam) dan sikap mereka berlebih-lebihan dalam berdebat dan bermusuhan. Jika perdebatan ini di abad-abad pertama nampak mendesak, maka di abad-abad berikutnya tidak begitu dibutuhkan. Masyarakat awam puas dengan taklid dan tidak mampu melakukan perdebatan teologis (kalamiah). Untuk itu al-Gazali menyerukan untuk mengekang masyarakat awam dari Ilmu Kalam, walaupun al-Asy’ari telah mendahuluinya dengan mengarang risalah, Fi Istihsän fi ‘im a1-kalam. Nampak sekali bahwa kondisinya berbeda. Dengan menilai kondisi-kondisi yang terakhir, Ibnu Khaldun (808 H 1406 M) mendukung pendapat yang dikemukakan oleh al-Gazäli, dan berpendapat bahwa studi-studi teologis harus dibatasi untuk kalangan khusus. Di akhir kehidupan al-Gazãli --ketika ia didominasi oleh kecenderungan sufis dan mulai mengritik studi-studi rasional yang sebelumnya sudah ia lakukan-- bertindak begitu keras terhadap ilmu kalam (teologi Islam) mengalahkan sikap kerasnya terhadap studi-studi lain. Ia menetapkan bahwa tujuannya adalah membentengi akidah Ahi al-Sunnah wa al-Jama’ah dan menjaganya dari gangguan ahli bid’ah. Itu adalah ilmu yang memadai dengan tujuannya walaupun tidak memadai dengan maksud al-Gazãli sendiri, bahkan tidak menyembuhkannya dari penyakit yang ia derita.
Al-Gazali, sebagaimana halnya para penganut aliran Asy’ariah, menyelaraskan akal dengan naqli. Ia berpendapat bahwa akal harus dipergunakan sebagai penopang, karena ia bisa mengetahui dirinya sendiri dan bisa mempersepsi benda lain, yang jika lepas dan sumbat angan-angan dan khayalan maka ia bisa mempersepsi benda-benda secara hakiki. Namun al-Gazãli menghentikan akal pada batas-batas tertentu, dan hanya naql-lah yang bisa melewati batas-batas ini Mengenai problematika sifat-sifat (Allah), al-Gazali memegang pendapat yang dianut oleh al-Asy’arh sehingga ia tidak menerima pendapat yang dikemukakan oleh kaum Hasywiah maupun Mu’tazilah, karena kedua aliran ini ekstnim. Aliran Hasywiah berpegang teguh pada arti dari suatu teks (ayat al-Qura’n dan al-Sunnah) agar mereka tidak mengosongkan Allah dari sifat-sifat, sehingga mereka antropomorfis. Sebaliknya Mu’tazilah berlebih-lebihan dalam menyucikan Allah, sehingga mereka harus menafikan sifat-sifat dari Allah. Yang paling baik adalah tengah tengah. Menurut a1-Gazali, Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Alam Ia ciptakan dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, karena kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang ada (al-Maujüdat), sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sebab-sebab alami hanyalah korelasi waktu antara benda-benda. Nampak jelas bahwa al-Gazãli mengagumi pemecahan masalah melihat Allah yang dikemukakan oleh al-Asy’ari. Pemecahan ini ia tingkatkan dengan cara menafsirkan melihat Allah itu sebagai suatu corak pengetahuan.

5. AI-Syahrastni ( 548 H = 1153 M )
Di abad ke-6 H ada tiga tokoh lain yang ambil bagian untuk membentengi dan menyebarkan gerakan al-Asy‘ariah. Pertama, adalah Ibnu Tumart (524 H=1130 M) murid al-Gazali dan Putera Mahkota Bani Muwahhidin. Ia amat berjasa dalam menyebarluaskan aliran al-Asy’ariah di Andalusia dan Afrika Utara. Kedua, adalah al-Syahrastani yang beberapa waktu hidup sezaman dengan a1-Gazali. Ia masih diberi umur sekitar 40 tahun setelah al-Gazãli wafat. Ketiga, adalah Fakhr al-Din a1-Rizi yang menghabiskan hampir semua umumya di abad ke6. Di abad ke-7, ia hidup hanya 6 tahun.
Al-Syahrastani benar-benar menguasai sejarah dan pendapat-pendapat dari berbagai aliran Islam. Itu ia paparkan secara obyektif di dalam bukunya, al-Milal wa al-Nihal (agama dan kepercayaan), yang sudah dikenal para analis sejak abad yang lampau sebelum mereka menemukan kembali Maqãlat al-Islamiyyin karya al-Asy ‘ari itu. Buku ini mereka jadikan rujukan, bahkan sampai hari ini al-Syahrastani tidak hanya memfokuskan diri pada kelompok-kelompok keagamaan, tetapi juga mengkaji para filosof kiasik dan modern. Penguasaan filosofisnya, temyata amat mendalam dan sempurna. Nampak bahwa al-Syahrastani banyak terpengaruh oleh Ibnu Sina, walaupun ia juga mengritik dan menentangnya.
Walaupun mendalami kajian-kajian teologi Islam, tetapi al-Syahrastani berpendapat bahwa “Agama orang-orang yang lemah merupakan hadiah yang paling tinggi”. Sependapat dengan kaum Asy’ariah, al-Syahrastäni menolak al-Tasybih (antropomorfisme), al-Ta’til (mengosongkan Allah dari sifat-sifat, nihilisasi) dan al- al-Ahwal (kondisi-kondisi bagi Allah). Sebaliknya, ia meneguhkan bahwa sifat-sifat (Allah itu) ada pada zat. Ia mempergunakan metode komparatif (al-Manhaj al-Muqarin) dalam kajiannya. Untuk itu, ia memaparkan pandangan-pandangan dari berbagai firqah (kelompok, sekte) dan para filosof. Pandangan-pandangan ini ia bandingkan dengan pandangan-pandangan kaum Sifatiah. Sekaligus ia berjuang keras untuk menolak pandangan yang pertama dan meneguhkan yang kedua (kaum Sifatiah). Bukunya, Nihäyah al-Iqdam, merupakan contoh yang paling jelas bagi studi perbandingan antara pandangan-pandangan teologi Islam dengan filsafat. Diskusi ini disampaikan secara detail dan rinci. Langkah al-Syahrastani ini diikuti oleh Fakhr al-Din al-Rãzi. Baik al-Syahrastni maupun al-Räzi, sama-sama mempunyai pengaruh yang besar di kalangan teolog Islam abad ke-7 dan abad ke-8.

6. Fakhr al-Din a1-Razi ( 606 H = 1209 M )
Al-Razi adalah seorang mufassirin (ahli tafsir) dan ahli fiqh, seorang teologi Islam dan filosof. A1-Razi, secara tidak dipertentangkan lagi, adalah filosof timur yang pertama pada abad ke-6 H. Ia begitu serius menggeluti filsafat, mempelajan logika, masalah-masalah alam (kosmologi) dan metafisika. Ia berguru kepada Ibnu Sina, dan mengomentari sebagian buku Ibnu Sina. Ia berusaha memadukan agama dengan filsafat, dan mencampur filsafat dengan ilmu kalam (teologi Islam). Dalam al-Maisal al-Razi menempuh langkah tertentu dalam mengklasifikasikan dan mensistematisasi problematika teologis, yang langkah ini kemudian diikuti oleh generasi sesudahnya --khususnya al-Iji dalam buku al-Mawaqif. Buku_ini, secara global unggul dalam klasifikasi dan sistematisasi. A1-Razi adalah seorang Asy’ariah yang konsisten terhadap ke-Asy’ariah-annya, walaupun ia cenderung kepada sebagian pandangan Mu’tazilah dan Maturidiah. Dalam tafsirnya yang besar dan belum ia sempurnakan itu, al-Razi mengritik al-Zamakhsyari di dalam al-Kasysyaf. Ia menafikan ketubuhan (al-Jismiyyah), berada di suatu ruang (al-Makaniyyah), terjadinya hal-hal temporal dengan sendirinya dan Allah Sebaliknya, ia meneguhkan bahwa Allah memiliki sifat Maha Kuasa (Al-Qudrah), Maha Mengetahui (al-Ilmu), Maha Berkehendak (al-Iradah), Maha Hidup (al-Hayah), Maha Berfirman (al-Kalam), Maha Mendengar (al-Sam) dan Maha Melihat (al-Basar). Ia membedakan al-Kalam al-Nafsi dari kalam yang dinyatakan dengan suara dan huruf. Ia mengritik secara tajam pandangan-pandangan yang saling bertentangan. Ia nyaris tidak berbeda pendapat dan al-Asy’ari kecuali mengenai kekekalan (Allah, al-Baqa) yang dalam hal ini ia memegangi pandangan al-Baqillani dan Imam al-Haramain. Ia juga meneguhkan bahwa Allah bisa dilihat dengan mengutamakan dalil agama, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Maturidi, sebagai ganti dalil rasional.

7. Muhammad ‘Abduh ( 1322 H = 1905 M )
Muhammad ‘Abduh adalah seorang penyeru reformasi dan duta kebangkitan, yang dihambat oleh kejumudan pemikiran, cakrawala sempit dan keasikan menggeluti perbedaan-perbedaan pendapat usang yang tidak ada landasannya, sementara ia ingin mengembalikan Islam kepada kejayaan yang ada pada generasi Islam pertama. Muhammad ‘Abduh adalah seorang tokoh Salaf, tetapi tidak menghambakan diri pada teks-teks agama. Ia memegangi teks-teks agama (al-Ma’sur), tetapi dalam hal ini ia juga menghargai akal. Ia menguasai materi perbedaan yang terjadi antara kelompok-kelompok Teologi Islam. Ia menguasai filsafat-filsafat yang tidak karuan yang dicapai oleh perbedaan pendapat itu, tetapi ia bertujuan mengetengahkan akidah Islam dalam gambaran yang sehat. Untuk itu, ia mengarang Risallah al-Tauhid untuk menempatkan persoalan-persoalan sesuai dengan porsinya; mengembalikan akidah pada kondisi yang seharusnya, khususnya karena para teolog Islam telah menggeluti masalah-rnasalah yang tidak ada standarya. Hal ini dikarenakan, memikirkan Zat Allah berarti mengkonsekuensikan pencarian akar (substansi) hal-hal yang tidak diperbolehkan bagi akal manusia.
Menurut Muhammad ‘Abduh, Islam adalah agama tauhid. Memang al-Qur’an menyebutkan sifat-sifat (Allah) yang menyamai manusia. Di sini akal punya ruang gerak yang begitu lebar untuk memahaminya secara hakiki, sesuai dengan hakikatnya. “Yang harus kita Imani, ialah kita harus tahu bahwa Ia adalah wujud yang tidak menyamai segala yang ada; azali lagi abadi; Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkehendak, dan Maha Kuasa; Sendiri dalam keharusan ada-Nya dan dalam kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Ia Maha Berfirman, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan sifat-sifat lain—sebagai konsekuensi semua itu— yang dibawa oleh Syara’ dengan menerapkan sifat-sifat itu pada nama-Nya. Statemen yang mengatakan bahwa ‘sifat-sifat (Allah) adalah tambahan bagi Zat (Allah) dan kalam adalah sifat selain yang disebutkan di dalam kitab-kitab Samawi’ tidak boleh digeluti, karena akal manusia tidak bisa mencapainya, dan bisa membawa kepada filsafat-filsafat yang jelas asal-usulnya. Jadi aI-Ustaz al-Imam (Muhammad ‘Abduh pen) lebih mendahulukan al-Taslim dan al-Tafwid (menyerahkan persoalannya kepada Allah) atas analisa rasional tanpa bersitegang urat leher dan perdebatan yang seringkali menyesatkan. Muhammad ‘Abduh cenderung kepada apa yang dikatakan oleh al-Gaza1i dan lbnu Khaldun, sederhana saja dalam filsafat-filsafat kalamiah (teologi Islam).
Dalam kajian di atas kita bisa melihat bahwa dalam menggambarkan teori ketuhanan, kaum Asy’ariah lebih menggeluti keesaan dan kesucian (al-Tauhid wa al-Tanzih) Allah dibandingkan Tajrid, memurnikan-Nya. Secara primer terlebih dahulu mereka memegangi teks-teks agama. Mereka mengembalikan kesucian teks-teks agama setelah kaum Mu’tazilah berusaha untuk memegangi dan memenangkan akal atas teks-teks itu, sehingga mereka menolak apa yang perlu mereka tolak dan menakwilkan apa yang memang pantas mereka takwilkan. Memang kaum Asy’ariah generasi pertama tidak mengabaikan akal. Di antara mereka ada yang mementingkan akal hingga mendekati sikap Mu’tazilah, bahkan mendekati sikap para filosof, semisal Imam al-Haramain, al-Gazali, Fakhr al-Din al-Razi dan al-Amidi (630 H 1233 M). Generasi belakanganpun datang kemudian mereka banyak mempersempit ruang gerak ini, persoalan di mana al-Usta al-Imam menyerukan perlu adanya keseimbangan antara akal dan agama. Memang setelah perbedaan-perbedaan lenyap, kajian mengenai ketuhanan menjadi terbatas untuk orang-orang khusus, dan kaum Asy’ariah belakangan puas dengan mengulang-ulang pandangan orang-orang terdahulu dengan tanpa menambahkan pendapat-pendapat baru. Target yang ingin mereka capai adalah membentengi sudut pandang aliran Asy’ariah.

C. Doktrin-Doktrin Teologi Al-Asy’ari
Formulasi pemikiran Al-Asy’ari. secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya. pergerakan terdebut memiliki semangat ortodoks, Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini. menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi Kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori ibn Kullab (w. 854 M)
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:
A. Tuhan dan Sifat-Sifatnya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju hahwa mengesaan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim, Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antropomorfis) dan kelompok musyabbibah yang berpeniapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnah dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiahnya. Di lain pihak, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursa tidak boleh diartikan secara hurfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mernpunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya. Mustahil kata al-As’ari Tuhan mengetahui dengan dzatnya, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan tuhan sendiri adalah pengetahuan, tuhan bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi yang maha mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukan zat-Nya. Demikian pula denan sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.

B. Kebebasan dalam Berkehendak (Free- Will)
Dalam hal apakah manusia meniiliki kemampuan untuk memilih, menentukan. serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut faham kebehasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb, Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib), Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
Kesimpulan dari uraian di atas dapat digambarkan sebagai berikut:



Kehendak Daya Perbuatan Aliran
Tuhan Tuhan Tuhan Jabariah
Manusia Manusia Manusia Mu’tazilah
Tuhan Tuhan (efektif)
Manusia (Tidak Efektif) Tuhan (Sebenarnya)
Manusia (Kiayasan) Asy’ariah
Salah satu di antara pengikut yang terpenting ialah Muhammad Ibn al-Tayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani. Ia memperoleh ajaran-ajaran al-Asy’ari dan dua muridnya, Ibn Mujahid dan Abu al-Hasan al-Bahili, dan wafat di Bagdad tahun 1013 M. Tetapi al-Baqillani tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran al-Asy’ari. Dalam beberapa hal Ia tidak sepaham dengan al-Asy’ari diantaranya mengenai Free will.
Al-Baqillani tidak sepaham dengan al-Asy’ari mengenai paham perbuatan manusia. Kalau bagi al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan seluruhnya, menurut al-Baqillani manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia; adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Dengan kata lain, gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya. Gerak sebagai genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, tetapi duduk, berdiri, berbaring, benjalan dan sebagainya yang merupakan spectes (naw’) dari gerak, adalah perbuatan manusia. Manusialah yang membuat gerak, yang diciptakan Tuhan itu, mengambil bentuk sifat duduk, berdiri dan sebagainya. Dengan demikian kalau bagi Al-Asy’ari daya manusia dalam kasb tidak mempunyai efek, bagi alBaqillani daya itu mempunyai efek.
D. Qadimnya Al-Quran
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-Quran. Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Quran diciptakan (makhluk sehingga tidak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah kalam Allah, (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Quran adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Quran bagi Al-Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat:
          
Artinya:
“Jika kami menghendaki sesuatu. Kami bersabda, “Terjadilah” maka ia pun terjadi” (QS. An-Nahl [16]: 40)

E. Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya. Dalil Alquran yang dibawa kaum asy’ariyah antara lain adalah yang berikut:
       
Menurut asy’ariyah kata nazirah dalam ayat ini tak bias berarti memikirkan, karena akhirat bukanlah tempat berpikir. Jiga takbisa berarti menunggu, karena wujuh yaitu muka atau wajah tidak dapat menunggu, yang menunggu adalah manusia. Oleh karenaq itu kata nazirah mesti berarti melihat dengan mata.
Kaum Asy’ariyah juga mengemukakan ayat berikut:
                                          •  
Di sini Nabi Musa meminta supaya Tuhan memperlihatkan diriNya. Kalau Tuhan tak dapat dilihat, demikian kata As’ariah, Nabi Musa tak akan meminta supaya Tuhan mempenlihatkan diri-Nya. Seterusnya ayat itu mengatakan bahwa Nabi Musa akan melihat Tuhan, kalau bukit Sinai tetap pada tempatnya. Membuat bukit Sinai tetap di tempatnya termasuk dalam kekuasaan Tuhan dan oleh karena itu Tuhan bisa dilihat.

F. Keadilan Tuhan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada satupun yang wajib baginya. Tuhan berbuat sekehendaknya, sehingga kalau Ia memasukan seluruh manusia ke dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil dan jika Ia memasukan ke dalam neraka tidaklah Ia bersifat zalim. Dengan dengan demikian ia juga tidak setuju dengan ajaran mu’tazilah tentang al-wa’d wa al-waid.




G. Kedudukan Orang Berdosa
A1-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang haruslah salah satu di antaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.
Bagi al-Asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Sekiranya orang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak didapati kufr atau iman; dengan dernikian bukanlah ia atheis dan bukanlah pula monotheis, tidak teman dan tidak pula musuh. Hal serupa ini tidak mungkin. Oleh karena itu tidak pula mungkin bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan pula tidak kafir.

H. Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Konsepsi ini dapat digambarkan sebagai yang terdapat dalam Gambar:











Tuhan berdiri di puncak alam wujud dan manusia di kakinya berusaha dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan; dan Tuhan sendiri dengan belas-kasihan-Nya terhadap kelemahan manusia, diperbandingkan dengan kemahakuasaan Tuhan, menolong manusia dengan menurunkan wahyu melalui Nabi-nabi dan Rasul-rasul.
Konsepsi ini merupakan sistem teologi yang dapat digunakan terhadap aliran-aliran teologi Islam yang berpendapat bahwa akal manusia bisa sampai kepada Tuhan. Yang menjadi persoalan selanjutnya ialah: sampai di manakah kemampuan akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia? Dan juga sampai manakah besarnya fungsi wahyu dalam kedua hal ini?
Kalau kita selidiki buku-buku klasik tentang ilmu kalam akan kita jumpai bahwa persoalan kekuasan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah pertama ialah soal mengetahui Tuhan dan masalah kedua soal baik dan jahat. Masalah pertama bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan yang dalam istilah Arab disebut husul ma’rifah Allah dan wujud ma’rifah Allah. Kedua cabang dari masalah kedua ialah: mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat atau ma‘rifah al-husn wa al-qubh dan wujub i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih, yang juga disebut al-tahsin wa al-taqbih.
Polemik yang terjadi antara aliran-aliran teologi Islam yang bersangkutan ialah: yang manakah di antara keempat masalah itu yang dapat diperoleh melalui akal dan yang mana melalui wahyu? Masing-masing aliran memberikan jawaban-jawaban yang berlainan.
Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pernikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah pula wajib.
Dalam hubungan ini Abu al-Huzail dengan tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan; dan jika ia tidak berterima kasih kepada Tuhan, orang demikian akan mendapat hukuman. Baik dan jahat menurut pendapatnya, juga dapat diketahui dengan perantaraan akal dan dengan demikian orang wajib mengerjakan yang baik, umpamanya bersikap lurus dan adil, dan wajib menjauhi yang jahat seperti berdusta dan bersikap zalim. Konsepsi ini dapat digambarkan sebagai yang terdapat dalam Gambar sebagai berikut:










MT
KMT
MBJ
KMBJ




Keterangan:
MT : Mengetahui Tuhan
KMT : Kewajiban Mengetahui Tuhan
MBJ : Mengetahui Baik Dan Jahat
KMBJ: Kewajiban Mengerjakan Yang Baik dab Menjauhi Yang Jahat

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa jawaban kaum Mu’tazilah atas pertanyaan di atas: keempat masalah pokok itu dapat diketahui oleh akal.
Dari aliran Asy’ariah, al-Asy’riah sendiri menolak sebagian besar dari pendapat kaum Mu’tazilah di atas. Dalam pendapatnya segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman.
Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut pendapat al-Asy’ari akal tak mampu untuk mengetahui kewajibankewajiban manusia. Untuk itulah wahyu diperukan. Akal dalam pada itu dapat mengetahui Tuhan. Tetapi apakah akal dapat juga mengetahui baik dan jahat, hal ini tidak jelas dalam karangan-karangan al-Asy’ari.
Penjelasannya harus dicari dalam keterangan para pengikutnya. Menurut al-Baghdadi akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan karena segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Oleh karena itu, sebelum turunnya wahyu, tidak ada kewajiban-kewajiban dan tidak ada larangan-larangan bagi manusia. Jika seseorang, sebelum wahyu turun, sekiranya dapat mengetahui Tuhan serta sifat-sifat-Nya dan kemudian percaya kepada-Nya, maka orang demikian adalah mukmin tetapi tidak berhak untuk mendapat upah dari Tuhan. Jika orang demikian dimasukkan ke dalam surga, maka itu adalah atas kemurahan hati Tuhan. Dan sebaliknya jika seseorang sebelum adanya wahyu, tidak percaya pada Tuhan, ia adalah kafir dan atheis tetapi tidak mesti mendapat hukuman. Kalau sekiranya Tuhan memasukkannya ke dalam neraka untuk selama-lamanya itu tidak merupakan hukuman.
Menurut al-Syahrastani Ahli Sunnah yaitu kaum Asy’ariah berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui dengan wahyu dan pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak dapat menentukan bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalab wajib, karena akal tidak membuat sesuatu menjadi harus atau wajib. Wahyu sebaliknya tidak pula mewujudkan pengetahuan. Wahyu membawa kewajiban-kewajiban.
Dari keterangan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa akal dalam pandangan kaum Asy’ariah dapat mengetahui baik dan jahat. Konsepsi ini dapat digambarkan sebagai yang terdapat dalam Gambar sebagai berikut:







MT KMT

MBJ KMBJ





Keterangan:
MT : Mengetahui Tuhan
KMT : Kewajiban Mengetahui Tuhan
MBJ : Mengetahui Baik Dan Jahat
KMBJ: Kewajiban Mengerjakan Yang Baik dab Menjauhi Yang Jahat


I. Perbuatan Baik dan Buruk
Berbicara tentang aliran Asy’ari pada dasarnya merupakan pecahan dari aliran Mu’tazilah yang mendewakan akal, rasionalistis dan filosofis. Dimana Asy’ariyah menganut paham ini selama 40 tahun, namun setelah itu menyatakan dirinya keluar dan mengembangkan ajaran yang merupakan counter terhadap gagasan Mu’tazilah yang kemudian dikenal dengan Asy’ariyah.
Pandangan Asy’ariyah mengenai perbuatan baik dan buruk, sungguh sangatlah berbeda dengan aliran-aliran yang lain, aliran ini sangat menolak keras bahwa perbuatan baik dan buruk yang berasal dari akal, Asy’ariyah mengemukakan argumentasinya untuk membenarkan atas konsep kebaikan dan keburukan yang berasal dari akal, yaitu jika akal yang menetukan kebaikan dan keburukkan, maka tidak akan pernah perbuatan buruk itu menjadi baik.
Di dalam menyikapi masalah ini, sangatlah jelas bahwa kemampuan akal dalam menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan tidak merniliki independensi sama sekali, dan meyakini bahwa yang ada hanyalah baik dan buruk yang ditentukan agama. Dengan demikian perbuatan dikatakan baik menurut Asy’ariyah, apabila dihukumi oleh syariat adalah baik dan perbuatan dikatakan buruk, jika dikatakan oleh syariat ialah buruk. Kalau manusia dalam konteks ini tidak mampu mendeteksi dan menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan, bahkan yang menjadi syarat keutamaan suatu perbuatan tersebut adalah kebergantungannya pada perintah dan larangan Tuhan.
Masalah perbuatan baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia aliran Asy’ariyah berada pada posisi tengah antara aliran Jabaniyah dengan Mu’tazilah, menurut Mu’tazilah manusia itulah yang mengerjakan pebuatannya dengan sesuatu kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya, begitu pula dengan Jabariyah manusia tidak berkuasa mengadakan atau menciptakan atau memperoleh sesuatu, bahkan ia ibarat bulu yang bergerak menurut arah angin yang meniupnya, maka datanglah Asy’ari yang mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh sesuatu perbuatan.
Berdasarkan pendapat di atas Asy’ariyah juga mengatakan: ‘’Akal tidak dapat menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan, dan kewajiban mengetahui yang baik dan yang buruk hanya diketahui lewat wahyu dan tidak dapat menentukan apakah suatu perbuatan mendatangkan pahala atau siksa.
Dengan demikian kalau dianalisa pendapat Asy’ariyah perbuatan baik dan buruk dalam arti yang sebenarnya adalah yang bersifat syar’i (wahyu) bukan aqli, artinya suatu perbuatan hanya bisa dipandang baik, jika terdapat dalil syar’i yang menunjukkan bahwa perbuatan itu baik dan demikian pula suatu perbuatan hanya dapat dipandang buruk jika terdapat dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu buruk.
Tetapi Sebagian dari tokoh As-Ariyah seperti al-Syahrastani berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui dengan wahyu dan pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak dapat menentukan bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalab wajib, karena akal tidak membuat sesuatu menjadi harus atau wajib. Wahyu sebaliknya tidak pula mewujudkan pengetahuan. Wahyu membawa kewajiban-kewajiban.
Dari keterangan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa akal dalam pandangan kaum Asy’ariah dapat mengetahui baik dan jahat.


BAB III
KESIMPULAN

Seperti yang telah penulis sampaikan di Bab pendahuluan, penulis membatasi kerangka penulisan pada 3 (tiga) hal ( dapat dibuka di halama 3 ). Maka penulispun menyimpulkan bahwa:
1. Teologi Asy’ariah didirikan oleh Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il al-Asy’ari lahir di Basrah di tahun 873 M dan wafat di Bagdad pada tahun 935 M. Pada mulanya ia adalah murid al-Jubba’i dan salah seorang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah. Selanjutnya ia keluar dari golongna mu’tazilah sekitar tahun 300 H dan selanjutnya membentuk teologi baru yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri.
2. Tokoh Al-asariah yang menonjol diantaranya Abu Hasan Al-Asy’ari, Abu Bakar al-Baqillani, Imam a1-Haramain, AI-Gazali, AI-Syahrastni, Fakhr al-Din a1-Razi, Muhammad ‘Abduh
3. Kepercayaan Teologi As’ariyah antara lain:
A. Tuhan bisa dilihat dengan mata kepala di akherat.
B. Sifat Tuhan ada dan berbeda dengan sifat lain.
C. Qur’an kalamullah yang qadim, dan qodimnya lain dari pada yang lain.
D. Ciptaan Tuhan tidak karena tujuan.
E. Tuhan menghendaki kebaikan dan keburukan.
F. Tuhan tidak berkewajiban:
- Membuat yang baik dan yang terbaik.
- Mengutus utusan.
- Memberi pahala pada orang yang taat dan menjatuhkan siksa atas orang yang durhaka.
G. Tuhan boleh memberi beban di atas kesanggupan manusia
H. Kebaikan dan keburukan terhadap sesuatu tidak bisa diketahui akal semata
I. Pekerjaan manusia Tuhan yang menjadikan.
J. Ada syafaat dan Kiamat.
K. Utusan Nabi Muhammad S.A.W. diperkuat dengan mukjizat.
L. Ada kebangkitan di akherat, pengumpulan manusia (hasyr), pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di kubur, siksa kubur, pertimbangan amal perbuatan manusia, jembatan (shirath), semua benar.
M. Ada Surga dan Neraka.
N. Mengakui adanya ljma.
O. Mukmin yang berbuat Dosa besar akan masuk Neraka, sampai selesai menjalani siksa, dan akhirnya akan masuk Syurga.
P. Segala sesuatu atas taqdir Allah S.W.T., karena manusia tidak mengetahui bagaimana taqdir yang ditetapkan, maka wajib Kasab dan Ikhtiar (usaha).













DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution,
Teologi Islam : Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-PRESS, 2002.

Dr. Rosihon Anwar. M.Ag,
Ulumul AL-Quran, Pustaka Setia, Bandung, 2008

Taib Thahir Abd Muin,
Ilmu Kalam, Widjaya, Jakarta, 1986.

Dr. Abdul Rozak, M.Ag dan Dr. Rosihoh Anwar,M.Ag.
Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2001.

H.Muhammad Ahmad,
Tauhid Ilmu Kalam,Pustaka Setia, Bandung, 1998.

Dr. Ibrahim Madkour,
Aliran dan Teori Filsafat Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2004.

Drs. H. A. Kahar Muzakar Hasbi
Ilmu Kalam, Hegar, Bandung, 2004.

Sufyan Raji Abdullah,
Mengenal aliran dalam Islam dan ciri-ciri ajaranya, Pustaka Al riyad, 2007.

Attang ABD, Hakim, Jaih Mubarok,
Metodologi Study Islam, Remaja Rosda Karya, 2007.

Abu bakar saleh,
Responses to “Baik dan Buruk dalam Perbuatan Tuhan, Februari 2008

Abul Hasan Ismail al-Asy’ari,
Prinsip-perinsip Aliran-aliran teologi Islam, Pustaka setia, Bandung,1999.

A.Hanafi,
Pengantar Teologi Islam, Pustaka Al-Husna Baru, Jakarta, 2003.

Yunan Yusuf,
Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Penamadani, Jakarta, 2004.

C.A.Qadir,
Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Yayasan Obor, Jakarta, 1991.

Jalal Muhammad Musa,
Nasy’ah Al-Asyariah wa Tatwwuruha, Dar Al-Kitab Al-lubhani, Bairut, 1975.

Al-Syahrastani, Muhammad Ibn ‘Abd al-Krim, Muhammad Ibn Fath Allah al-Badran (Ed),
Kitab al-Milal wa al-nihal, Kairo, 1951.

Richard j. McCarthy S.J,
Kitab Al-Luma, Beyrouth:Imprimerie Catholique, 1952.

Al-Gazali,
al-Munqiz min al-Dalal, Kairo 164


Al-Razi,
al-Mahsal Afkar al-Mutaqaddimah wa al-Mutaakhirin, Kairo 1905.

Muhammad Abduh,
Risalah al-Tauhid, Kairo 1932.

Ahmad Amin,
Dhuha Al-Islam, Dar Al-Misriyah, Kairo, 1946.

W. Montgomery Watt,
Islam Philosopy and Theologi, Edinburgh University Press, Edinburgh, 1985.

Abu Al-Hasan bin Ismail Al-Asy’aru,
Maqalat Al-Islamiah wa Ikhtilaf Al-Mushaliyyun, Istanbul, 1929.

Abu Malik Al-Juawina, Luma Al-Adillah,
ad-Dar Al-Mishriyah, Mesir, 1965.


Abdul Hye,
Ash’arism A History of Muslim Philosophy, Ed. M.M.Sharif, Otto Harras Sowitz, Wiebaden, 1963.

Al-Syahrastani,
Kitab Nihayah al-Iqdam fi Ilm al-kalam, London, 1934.

oleh : Muhammad Nurdin Al-Aziz M.Ag saetik deui

0 komentar: